Tiba-tiba Bondan muncul dengan tangan terbalut. Agak mencolok karena warna putih perban begitu kontras dengan kulitnya yang hitam. Memang tidak biasanya Bondan menderita luka separah itu. Toh semua menerima kenyataan itu apa adanya.
Fuad yang pertama kali bertanya.
Fuad pula yang pertama kali terkecoh.
“Kenapa tanganmu?”
Bondan mengangkat tangannya. “Seperti yang kamu lihat.”
“Patah tulang?”
“Cuma keseleo.”
Aku mendengar semuanya dari ranjang. Waktu Bondan melirik padaku, aku segera mengangguk. Aku tahu maksudnya.
“Sudah diobati.”
“Sudah,” aku yang menjawab.
Fuad mengangguk-angguk. Lalu memakai jaket. Lalu berpaling kepadaku, dan kepada Bondan juga tampaknya, sebelum meninggalkan kamar.
“Tidak akan nonton?”
Bondan menggeleng.
“Aneka Ria Safari sudah main.”
“Biar saja.”
“Ada Vina Panduwinata.”
“Bilang saja sama Vina, tanganku sedang sakit.”
Fuad tertawa.
Akhirnya aku sendiri yang turun. Memakai sendal. Melirik aula yang sudah dipenuhi anak-anak.
“Betul-betul tidak ingin nonton?”
“Tidak.”
Ternyata Fuad memang sahabat yang baik. Ia betul-betul menyampaikan pesan Bondan kepada Vina yang malam itu tampil. Akibatnya bukan cuma Vina yang mendengar, tapi semua penghuni asrama yang hadir di situ. Mereka saling berbisik. Sementara Vina tetap saja menyanyi.
Sesusai acara tivi semua melirik ke kamar kami.
Semua menanyakan keadaan Bondan. Semua memperhatikan perban putih yang melilit erat. Semua tampak begitu kuatir.
Bondan duduk dengan sikap memelas.
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa,” jawab Bondan berkali-kali. “Aku tidak tahu kalau ranjang itu sudah rapuh. Aku naik begitu saja. Dan terperosok waktu kayu-kayunya patah. Tanganku terjepit. Tapi tidak apa-apa. Cuma terpeleset. Cuma keseleo sedikit.”
Semua memandang iba.
Diam-diam aku mengeluh. Setidaknya karena aku tahu Bondan tidak mengalami apa-apa. Setidaknya karena aku ingat bagaimana Bondan menarik tanganku sore tadi. Memaksaku bangun.
“Ada apa?”
Bondan menyerahkan segulung perban. “Tolong balut tanganku.”
“Tanganmu kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa.” Bondan juga menyerahkan gunting. “Di lemari ada selusin perban macam ini. Aku tidak tahu untuk apa dulu membelinya. Sayang kalau tak dipakai.”
“Tapi tanganmu tidak apa-apa!”
“Nah, tolong balutkan.”
“Untuk apa?”
“Tolong balut tanganku.”
Aku tidak mengerti. Tapi permintaan itu kukerjakan juga.
Ketika tengah malam itu aku terbangun – dan melihat Bondan tidur dengan tangan digantung, seolah betul-betul sedang sakit – aku masih tidak mengerti.
Satu-satunya yang kumengerti adalah keesokan harinya. Ternyata pengaruh cerita Bondan begitu besar. Anak-anak yang semalam mengunjungi kamar kami, tidak ada yang berani tidur di ranjang.
Besoknya begitu lagi.
Menjelang tidur Bondan menarik tanganku. Di tangannya ada segulung perban lain. Perban baru.
“Tolong ganti perbanku.”
“Untuk apa?”
Bondan malah menyodorkan gunting. Dan aku seperti tidak bisa berpikir untuk menolak, atau menasehati, atau memberi saran, atau apa begitu. Apa yang terjadi kemarin, hari ini terulang lagi.
Juga besoknya.
Dan besoknya lagi.
Persoalan menjadi agak jelas waktu pelajaran olahraga. Sore itu seperti biasa acaranya lari-lari di tempat. Saat aku menunduk membetulkan tali sepatu – selalu saja kendor sebelah – saat itu pula kulihat Bondan duduk di pojok lapangan.
“Tidak olahraga, Dan?”
Ia memperlihatkan tangannya. “Masih sakit.”
“Pak Dedi mengijinkan?”
“Ya.”
Aku menatap iri. “Kamu beruntung bisa meninggalkan pekerjaan yang satu ini. Sejak awal tahun ajaran, olahraga tidak lebih dari sekedar senam, lari-lari di tempat, dan menggerakkan tangan kaki.”
Pantas tak maju-maju, gerutuku selalu.
Bondan tersenyum tipis. Senyum yang samar-samar dan sukar kutebak maknanya. Yang jelas sneyum itu terlihat sampai pelajaran olahraga selesai. Sampai lapangan sepi, dan aku menemukan Bondan berdiri dekat gerbang sekolah.
Aku tertawa. “Tidak biasanya kamu menunggu aku.”
“Siapa yang menunggu kamu?”
Sialan. Aku terjebak. Dan makin merasa terjebak karena kemudian seorang gadis menghampirinya. Aku seperti pernah mengenal. Tapi tak bisa segera memastikan. Kalau tidak salah dia dari seksi kesenian yang tiap sore mengadakan latihan tari.
Setan! Siapa yang mengira kalau Bondan jatuh cinta?
Selama ini ia lebih sering hadir sebagai sosok yang tidak jelas. Sebagai penghuni asrama yang tak masuk hitungan untuk dipertimbangkan kemampuannya. Sebagai siswa yang dijuluki ada tak jadi masalah, tidak ada pun tak mengapa.
Aku menunggu sampai Bondan selesai ngobrol. Sampai kulihat gadis itu melambaikan tangan, sambil menutup pintu gerbang asrama putri. Sampai aku menghabiskan lima pisang goreng tanpa kusadari.
Bondan tersenyum di pintu warung.
“Pulang sekarang?”
Kami berjalan bersisian. Alang-alang di tepi sawah bersaing dalam keremangan senja, dengan rumput gajah yang terayun-ayun akibat hembusan angin.
“Siapa tadi….”
“Susi maksudmu?” Ia sengaja menemuiku karena mendengar kabar bahwa tanganku sakit. Minggu lalu ia pernah tanya benarkah aku suka memanjat tebing. Kubilang suka, dan pernah jatuh sekali. Bekas kecelakaan itu kadang-kadang kambuh. Kalau terkilir sedikit saja, luka itu membengkak lagi.
Tadi ia menanyakan sakitku. Kubilang masih terasa ngilu, tapi tidak seberapa parah. Susi bilang, aku adalah cowok paling jantan yang dikenalnya di sekolah ini.”
Bondan tertawa panjang.
“Kamu pintar, Dan.”
“Oya?”
“Ya. Dengan akal-akalanmu itu kamu bisa menarik simpatinya.”
“Aku juga diijinkan tidak piket di asrama. Tidak usah menyapu kelas. Tidak disuruh maju mengerjakan soal. Boleh makan di kamar. Juga tak perlu praktek lapangan.”
“Sebaiknya kamu sakit saja terus.”
Bondan menggeleng. “Tidak. Terimakasih. Sebetulnya aku cuma memancing perhatian Susi. Dan itu sudah berhasil. Sudah cukup.”
Aku mencari kesungguhan dalam matanya.
“Ini perban terakhir. Nanti malam tolong lepaskan.”
Malamnya, perban sudah siap dibuka sewaktu Bondan tiba-tiba saja menarik tangannya. Fuad menyeruak masuk.
“Ada apa?”
“Besok kerja bhakti. Minggu depan Pak Menteri akan meninjau sekolah dan asrama kita.”
Aku dan Bondan saling berpandangan.
“Tidak jadi,” bisik Bondan. “Nanti saja kalau kerja bhakti sudah selesai.”
Besoknya, lagi-lagi aku harus merasa iri pada Bondan.
Sementara yang lainnya bersimbah keringat, ia enak saja membaca koran dalam kamar. Dan kecemburuan itu berlanjut karena kerja bhakti masih diteruskan besoknya. Besoknya. Dan besoknya lagi.
Empat hari berturut-turut aku menyiangi rumput.
Empat hari berturut-turut kulihat Bondan ngobrol dengan Susi.
(Dan tiga malam berturut-turut mengganti perban. Celakanya, Bondan sudah membeli lagi setengah lusin perban baru!)
Kelihatannya Bondan menikmati itu semua.
Sampai pada suatu sore pimpinan asrama memanggilnya. Aku melihat Bondan berjalan terttih-tatih menuju ruang tamu. Pembicaraan keduanya tampak akrab. Beberapa kali kulihat Bondan mengangkat tangannya. Memperlihatkan perban yang membalut rapat.
Yang kusaksikan sewaktu kembali ke kamar adalah keajaiban.
Ada ranjang baru di sudut ruangan. Bisa ditandai dari cat kuningnya yang masih mengkilat. Diatasnya Bondan tidur meluruskan kaki sambil membaca novel.
Tangannya tak lagi dibalut!
“Hei, ranjang baru ya?”
“Apa pendapatmu, kawan?”
“Kamu hebat.”
“Ah, tidak. Kebetulan saja tadi Pak Is menanyakan apakah tanganku masih sakit atau tidak. Tentu saja kukatakan masih ngilu kalau terlalu sering digerakkan. Waktu aku bercerita bahwa semua itu gara-gara terperosok di ranjang, Pak is menghubungi bagian gudang. Ranjangku dikeluarkan. Diganti ranjang baru.”
“Boleh minta sisa perbanmu?”
“Untuk apa?”
“Aku juga ingin ranjang baru.”
Bondan tertawa.
Tapi kali ini tawanya tidak mencapai finish. Pada saat bersamaan terdengar suara berderak. Keras. Keras sekali. Diikuti dengan terbenamnya tubuh Bondan dalam pelukan kasur busa.
Aku menyaksikan semuanya.
Tiba-tiba saja ingin tertawa. Tapi urung karena kudengar kemudian Bondan meraung keras. Waktu tangannya kutarik, ia malah menjerit lebih keras lagi. Jeritan yang terlontar sebagai penyaluran rasa sakit yang teramat sangat. Bukan sakit pura-pura lagi.
Akhirnya harus kuakui bahwa Bondan betul-betul beruntung.
Tengah malam ia menarik sarungku. Ditangannya ada segulung perban baru. Dan gunting kecil.
“Tolong balutkan tanganku.”
“Masih senang pura-pura sakit lagi?”
“Aku betul-betul sakit sekarang!”
Aku tersenyum. Sementara Bondan meringis waktu lukanya kuobati. Juga waktu perbannya kuikat. Ikatan yang kesekian. Dan inilah ikatan yang betul-betul berfungsi.
“Besok aku akan memberi tahu Susi. Ia pasti datang menengokmu. Sambil membawa makanan. Sambil minta diceritakan tentang cara memanjat tebing.”
Bondan mendengus.
“Dan kamu mendapat ranjang baru lagi.”
Bondan mendengus lebih keras.
Hai no.08/XII tanggal 23-29 Februari 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar