Kamis, 15 April 2010

Hallo, Nama Saya Bondan



Setidak-tidaknya aku masih ingat betul.
Ingat waktu untuk pertama kalinya Bondan memperkenalkan diri. Selalu teringat karena caranya yang tidak berubah dari hari pertama ke hari berikutnya.
Berdiri di ujung lorong, memasukkan dua tangan dalam saku celana, dan tersenyum.
“Halo, namaku Bondan….”
Aku menatap heran saat tangan kanannya terulur. Kuperhatikan wajah lelaki yang berdiri di hadapanku. Wajah yang sama sekali tidak simpatik sebetulnya. Malahan lebih menjurus ke wajah kekanak-kanakan. Wajah bayi.
Dengan gerakan kasar uluran tangan itu kutepiskan.
Kalau saja waktu itu Bondan menunjukkan raut kecewa, mungkin persoalannya bisa selesai. Tak sulit bagiku untuk minta maaf, mengatakan bahwa itu tadi hanya main-main, anggap saja sambutan pertama, balas mengulurkan tangan, menyambut perkenalan Bondan dengan menjabatnya erat-erat.
Tapi Bondan tidak kecewa. Tidak juga tersinggung. Bahkan kini ikut menjajari langkahku.
“Aku murid baru. Namaku Bondan….”
“Tidak tanya.”
“Aku hanya memberi tahu. Namaku Bondan.”
“Sudah tahu.”
“Aku ingin berkenalan.”
“Sama yang lainnya saja dulu.”
“Sudah. Penjaga lonceng juga sudah. Tinggal kamu yang belum. Namamu kan Hastuti ya?”
Aku menghentikan langkah. “Bapakmu yang kasih nama?”
“Bapakku sudah mati. Tapi kemarin kamu tidak masuk. Dan aku menanyakan ke guru piket. Ada tiga nama di situ. Kupikir nama Hastuti lebih cocok. Dua nama lainnya amat meragukan. Kamu kan nggak mungkin bernama Burhan. Atau Paijo….”
Aku tertawa. Keras sekali.
“Kesalahanmu total. Namaku memang Paijo.”
“O. Menyeramkan sekali,” suara Bondan sama sekali tidak bernada mengejek. “Kemarin kulihat namamu di loket keuangan. Belum bayar SPP bulan ini ya?”
Aku mulai merasa jengkel.
“Kalau ya kamu mau apa?”
“Aku mau kenalan. Namaku….”
“Kamu orang gila ya?”
“Aku orang Bali. Namaku Bondan.”
Gombal betul. Aku mendengus keras. Apa yang kemudian dikatakan Bondan tidak kugubris. Buru-buru mempercepat langkah. Masuk ruang kelas dan duduk membanting kesal pada bangku.
Aku memicingkan mata. Memandang setengah marah pada Bondan yang ikut memasuki ruang kelas. Bondan mendekat. Semburan dari mulutku terasa amat galak.
“Mau apa ikut-ikutan ke sini!”
Bondan menahan langkah. Diam di tempatnya berdiri sampai aku memalingkan wajah ke luar jendela.

Ternyata Bondan sekelas denganku.
Winar yang memberi tahu. Winar pula yang menertawakan ketakutanku.
“Bondan baru masuk kemarin,” jelas Winar. “Kamu sih pake bolos.”
“Aku mens.”
“Iya deh iya. Tapi anak baru itu kocak lho.”
“Matanya sadis.”
“Semua anak dia salami. Kalimat perkenalannya khas. Halo, namaku Bondan, begitu. Antik ya?”
“Kepalamu itu yang antik.”
“Katanya cuma kamu yang belum disalami.”
“Pantesan dari tadi mengekor terus.”
“Senang sama kamu, barangkali.”
“Amit-amit!”
“Jangan sembarangan. Nanti kualat lho.”
Aku tertawa mendengar kualatnya si Winar. Meskipun aku sendiri tidak bisa memungkiri rasa diteror yang mendadak menyergap pikiranku. Dudukku jadi tidak betah. Jarak tempatku duduk dengan Bondan hanya selisih satu meja. Kalau saja jaraknya di bawah satu meter, mungkin aku memilih pindah ke kelas sebelah.
Aku merasa berada dalam penjara.
Kenyataannya Winar memang benar. Siang harinya, kembali aku tercekat di ujung lorong.
“Halo,” tangan Bondan terulur. “Namaku Bondan….”
“Maaf, aku sedang buru-buru.”
“Bisa kuantar?”
“Terima kasih. Lain kali saja.”
“Nanti sore bagaimana?”
“Sori, aku latihan atletik.”
“Namaku Bondan.”
Aku tidak mempedulikan lagi. Kakiku mengayun cepat. Tangga depan kutiti dengan gerakan terlatih. Kubiarkan Bondan terpaku melihat kepergianku.
Tadinya, dengan alasan itu aku berharap dapat lepas dari bayangan Bondan. (Ah, bagiku Bondan tidak berbeda dengan bayangan. Bisa muncul dan hilang tanpa diketahui.) Paling tidak bisa segera pergi dan menghindari gaya bicaranya yang kacau itu.
Dugaanku meleset. Harapanku hancur sama sekali.
Sore, di tengah lapangan, pelatih meniup peluitnya. Aku berlari kecil menggabungkan diri. Berolahraga ringan di tempat. Akhirnya disuruh mengelilingi lapangan empat kali. Sebagaimana layaknya seorang atlit, tidak ada yang membantah.
Aku mengambil ancang-ancang. Badan setengah membungkuk, dan pandangan mata lurus ke depan. Pas itulah aku menyadari kehadiran Bondan. Anak itu enak saja duduk menekur di pinggir lapangan.
Aku membuang pikiran jauh-jauh. Ujung kaki sudah menjejak kuat. Satu tiupan peluit, dan tubuhku melambung maju. Aku merasa lariku stabil. Meluncur menapaki jalur merah tanpa melenceng.
Aku berlari sendirian. Empat lawanku waktu sama-sama start tadi berada dalam selisih jarak tujuh meter, di depanku.
Aku menambah kecepatan. Semakin cepat. Sama cepat dengan kemunculan Bondan di putaran kedua. Mulailah terasa ada yang salah. Tali sepatu sepertinya mengendor. Dan ketiakku lebih berkeringat daripada biasanya.
Kucoba menenangkan diri. Di samping bayanganku, bayangan Bondan ternyata sanggup mengimbangi kecepatan.
“Selamat sore,” kudengar suara Bondan. “Terbiasa bicara sambil lari?”
Aku tetap memacu kaki.
“Aku juga suka lari. Dulu, kalau ketinggalan bis. Oya, namaku….”
Suara Bondan terputus oleh peluit panjang. Di tengah lapangan, pelatih berdiri garang. Satu tangan di pinggang, satu lainnya menunjuk pada Bondan. Seolah mengisyaratkan agar pelari tak terdaftar itu meninggalkan lapangan.
Aku mendengar gumam tak jelas. Betul-betul tidak jelas karena telingaku tetap berlari. Juga tidak bisa dibedakan apakah Bondan menggumam atau mengumpat.
Yang jelas, memasuki putaran ketiga aku berlari sendirian lagi.
Seharusnya aku bersyukur. Tapi ini malah merasa kehilangan. Tak ada Bondan yang menemani. Tidak ada Bondan yang menjajari langkahku. Ayunan kaki mendadak jadi kacau.
Sampai latihan selesai, sampai gelap mulai turun, bayangan Bondan tidak kelihatan lagi. Aku mencari-cari. Menyapu seluruh sudut lapangan lewat tatapan nyalang. Menunggu lebih dari sepuluh menit di pintu masuk.
Sia-sia.
Aku melangkah pergi. Meninggalkan lapangan yang tak jelas lagi patok-patoknya. Kepalaku masih celingukan. Berharap menemukan sosok Bondan di ujung jalan. Sosok yang tersenyum, mengulurkan tangan, dan terdengar: Halo, namaku Bondan….
Tapi sampai aku meloncat ke bis pertama yang lewat, harapan itu mengambang jauh. Bis terguncang di tikungan. Dan hatiku ikut terguncang.

Hari-hari berikutnya aktifitas rutin berjalan tanpa perubahan yang berarti. Aku masih datang ke sekolah paling awal, dan selalu pulang paling akhir. Begitu juga Bondan, masih setia menungguku di ujung lorong. Masih tersenyum dan mengulurkan tangan. Suaranya pun belum berubah. Dan aku tetap saja merasa gengsi untuk menerima ajakan baik Bondan.
Hebatnya, Bondan tidak juga kapok. Tidak juga mau mundur melihat sifat keras kepalaku. Aku menerima ketololan itu sebagai sesuatu yang lucu.
Ini sudah hari yang ke sebelas. Lorong kelas yang sepi itu kutelusuri lambat-lambat. Mendekati akhir perjalanan aku sudah bersiap-siap. Siap menghadapi Bondan yang pasti sudah berdiri di ujung sana. Ujung jempol dalam sepatu sudah bergerak-gerak.
“Selamat siang, namaku….”
Aku spontan tertawa. Keras. Keras sekali.
“Ibuku juga suka tertawa seperti itu.”
Cepat aku mengatupkan bibir. Memandang benci pada Bondan yang kini ganti tertawa. Lebih keras dari tawaku tadi. Setan banget. Aku benci dipecundangi anak tolol itu.
Dengan mencibir sengit kupercepat langkahku menuruni tangga. Kulirik Bondan membuntuti di belakang. Itu menyebabkan leherku berkeringat. Ada dorongan aneh yang mengetuk-ngetuk dadaku. Dorongan untuk lari saja daripada dijajari Bondan.
Di halte bis aku berdiri dengan sikap angkuh. Bondan yang menyandar di dekat situ sama sekali tidak kuacuhkan. Mataku terus saja melihat ke utara. Menanti datangnya PPD jurusan Gambir.
Yang ditunggu tidak kunjung tampak. Yang nongol justru bis-bis jurusan lain. Yang menawari tempat duduk malah mikrolet-mikrolet tujuan Kampung Melayu. Aku mulai cemas. Seputar leherku tampak basah. Apalagi Bondan tidak juga beranjak dari situ. Masih menyilangkan kedua tangan di dada sambil menyaksikan kegelisahanku. Kelihatannya anak itu menikmati semuanya.
Aku dituntut untuk cepat mengambil inisiatif. Segera menyeberangi jalan dan langsung meloncat ke metromini yang kebetulan melintas. Entah nomor berapa. Entah ke jurusan mana. Aku tidak ambil pusing. Pokoknya aku terlepas dari Bondan. Terlepas dari perasaan diteror.
Padahal kalau saja aku tahu, mungkin saat itu juga aku menjerit ngeri. Karena pada saat yang hampir bersamaan Bondan juga menyeberangi jalan. Bahkan ikut meloncat ke metromini yang sama. Tapi di bagian belakang. Sayang ancang-ancangnya kurang pas. Kendaraan keburu melaju kencang. Tubuh Bondan melayang sesaat sebelum akhirnya mendarat di tempat kosong. Terdengar suara brug, begitu. Tubuh Bondan terhuyung-huyung. Sama terhuyungnya dengan hardtop kelabu yang limbung menghindari tabrakan. Suatu usaha pencegahan yang gagal.
Terdengar rem berdecit di tengah hari bolong, bersamaan dengan terbantingnya tubuh Bondan ke sisi tajam trotoar. Masih untung kepalanya hanya membentur bak sampah dari bahan fiberglass.
Kecelakaan itu peristiwa rutin.
Dan orang-orang sudah terlatih meneruskan adegan seperti itu. Dalam waktu singkat saja kerumunan sudah terkumpul. Serangkaian tindakan dikerjakan tanpa perlu seorang komando. Tubuh Bondan diangkat ke tepi jalan. Selalu saja ada yang menjadi pahlawan. Seorang pria setengah tua merelakan bak belakang chevroletnya dilumuri darah segar.
Chevrolet melaju ke rumah sakit. Arus lalu lintas normal kembali. Kerumunan pun bubar.

Seperti prajurit yang bertugas tanpa senjata di pinggang. Seperti petenis yang mendadak lupa membawa raket. Seperti juga pesilat yang kehilangan semua jurus andalannya. Seperti itu juga perasaanku.
Berlangsung dua hari, terasa ada yang janggal. Ada yang aneh. Ada yang kurang. Padahal aku merasa sudah berpakaian lengkap. Hadir utuh sebagai pelajar yang baik. Seragam putih abu-abu, tas Elizabeth di bahu, sepatu warrior, dan lencana merah putih di kerah baju sebelah kiri. Apa lagi?
Sekarang aku baru menyadari ada sesuatu yang hilang. Bondan, ya Bondan! Kemana anak itu! Sudah dua hari ini tidak ada yang menunggu di ujung lorong. Tidak ada yang tersenyum. Pun tidak ada uluran tangan.
Aku merasa hidupku tak lengkap.
Dan siang ini, sampai ruang-ruang kelas tidak menunjukkan kehidupan lagi, aku masih mematung. Menatap nanar ke ujung lorong yang kosong melompong. Aku mulai putus asa. Segera pergi menyeret langkah. Ayunan kakiku terasa tertatih-tatih. Sama tertatihnya dengan langkah Pak Tua yang muncul dari ujung lain. Pak Tua yang jujur, pengabdi sarana pendidikan yang gigih, menceritakan soal kecelakaan di jalan raya tanpa diminta. Lengkap dengan uraian lengkingan rem, sampai darah tercecer, sampai mobil penolong dipacu ke rumah sakit anu, sampai kerumunan bubar meneruskan berita kepada orang-orang di dekatnya.
Aku menelan ludah. Terasa pahit.
Bagaikan anak kucing melihat induknya, aku melesat melintasi halaman sekolah. Terburu-buru. Sangat terburu-buru. Begitu tergesa-gesanya sampai dua kali menyetop kendaraan yang salah. Satu kali turun lagi dari bis rombongan karyawan. Umpatan kondektur kubalas dengan mata melotot galak.
Kupikir aku memang jadi gila. Jadi liar tidak ketulungan. Dua kali ganti bis hanya dilakukan dengan menjejakkan satu kaki di atas aspal terminal. Meloncat dari bis pertama saat memasuki terminal, langsung meloncat lagi ke bis kedua yang saat itu sudah bergerak lambat meninggalkan terminal.
Pintu masuk rumah sakit menyambutku tanpa sapaan. Aku bergegas menyusuri lorong-lorong putih. Ada bau obat di mana-mana. Seperti sengaja ditumpahkan untuk menambah kesan mautnya. Sengatan tidak enak membaur kemana-mana, seperti ikut membuntuti langkahku.
Di pintu bangsal kelas tiga aku tertegun. Ruangan bagi penderita kelas ekonomi paling rendah, tapi justru isinya paling penuh, tak ubahnya seperti tempat pelelangan ikan.
Aku melintas hati-hati. Tidak sulit menemukan ranjang tempat Bondan terbaring lurus. Di ranjang paling pojok, satu-satunya ranjang yang tidak dikunjungi pembezouk.
Aku berdiri memeluk tiang ranjang. Memperhatikan keadaan Bondan penuh rasa iba. Rasa penyesalan bercampur dengan perasaan geli, dan perasaan aneh. Kasihan. Seputar kepala Bondan dilingkari perban tebal. Cairan pekat berwarna kuning itu sudah terbubuhkan bundaran merah darah. Jadi seperti telor mata sapi. Lebih-lebih betisnya. Menebal sebesar bonggol batang pisang. Lututnya, lengannya, begitu pula sebagian pelipisnya, dimerahi oleh obat merah.
Aku menahan napas.
Bondan masih asyik membaca koran mingguan sambil menggoyang-goyangkan ujung jempol. Lirih-lirih aku pun mendengar siulannya.
Aku masih terpaku memeluk tiang ranjang saat Bondan menurunkan korannya. Diperhatikannya aku lewat sorotan nakal. Bondan tersenyum lebar.
“Hallo…” lengan itu terjulur. “Namaku Bondan….”

Hai no.5/IX tanggal 6-12 Februari 1985

Jantan


Lorong kelas berubah jadi pasar.
Pasar dalam arti kiasan karena sesungguhnya tak ada praktek jual beli di situ. Yang ada hanya kerumuman anak-anak dekat pintu kelas satu. Ribut. Sangat ribut.
Di dalam kelas, Wiyanti terguguk. Didampingi dua rekan dan sang ketua kelas yang duduk di kursi guru.
Hani memang pantas dikagumi sebagai ketua kelas teladan. Terbukti dengan kemampuan kelasnya meraih juara kebersihan selama lima bulan terakhir ini. Kini, dalam keadaan terjepit, masih bisa mengatur napas dengan mondar-mandir dekat papan tulis.
Kerumunan tetap merubung. Bahkan bertambah ramai karena banyak yang datang menggabungkan diri. Beberapa yang tahu persis persoalannya menjadi tumpuan tempat bertanya. Dan wajar kalau cerita lantas dibesar-besarkan. Alur jadi kacau. Kebenaran berita tak bisa dipertanggungjawabkan lagi.
“Itu dia datang!”
Semua menoleh. Semua menyongsong dengan gerak serempak. Satrio, seperti biasa, mengamati kejanggalan dengan sebelah mata. Langkahnya tak menjadi lebih cepat ataupun terhenti.
“Ada apa ini?”
Ketenangan yang khas. Dijawab oleh ketergesaan yang tidak lucu.
“Cewekmu, Sat! Cewekmu!”
“Ada apa dengan Wiyanti?”
“Kamu lihat saja sendiri. Di dalam sana.”
Tanpa diminta kerumunan menyibak. Memberi jalan.
Satrio membuka pintu.
Hani yang pertama kali kaget. Gerakannya gesit, menutup pintu kembali. Kepala-kepala yang tadi melongok kini meneriakkan huuu.
“Ada apa, Han?”
Satrio sudah lebih dulu beranjak ke tengah, mendekati Wiyanti yang terisak dan memegang bahunya.
“Kenapa menangis, Yan?”
Yang dipanggil mendongak. Tapi tidak menjawab apa-apa. Satrio merasakan bahu gadisnya berguncang. Jarinya ikut basah kena air mata. Dadanya ikut naik turun. Terdengar keluhan panjang.
Hani mengambil inisiatif. Dibawanya Satrio menjauh. Mengajak ke meja terdepan. Menyuruh duduk, dan berusaha tenang agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Santai saja, Sat.”
Satrio tetap melihat ke tengah. Kalimatnya datar. “Ada apa sebenarnya?”
Hani ragu-ragu. Kepalannya mengendor mengencang.
“Ada apa sebenarnya, Hani?”
“Anu, janji, kamu tak akan emosi ya?”
“Aku tak pernah emosi. Katakan saja.”
“E... Sardi. Kamu pasti kenal Sardi Suwardi, teman sekelasmu juga. Waktu istirahat tadi Sardi meledek Wiyanti sebagai pereks. Tahu artinya pereks? Yah, semacam cewek nakal, begitulah. Jadi....”
“Setan!”
Hani cepat mencekal lengan. “Sat, dengarkan dulu! Sulit untuk menentukan apakah Sardi sungguhan atau bercanda. Yang jelas Wiyanti tersinggung. Langsung menangis. Kamu lihat sendiri anak-anak jadi ribut.”
Satrio berdiri. “Aku juga bisa ribut.”
“Tunggu, kamu mau kemana?”
Hani memburu ke pintu. “Jangan gegabah, Sat!”
Satrio menepis. “Aku tidak gegabah, Han. Tapi Sardi sudah keterlaluan. Biar aku cari anak itu.”
“Jangan!”
“Apa urusanmu?”
Hani melenguh panjang.
“Satrio!”
Itu suara Wiyanti. Tidak merdu karena diucapkan masih dalam suasana menangis. Tapi cukup ampuh untuk memaksa dua lelaki yang berdebat itu menoleh.
Satrio menghampiri. Memandang gadisnya tanpa berkedip.
“Aku tidak apa-apa, Sat.”
“Tapi aku apa-apa.”
“Jangan memancing keributan.”
“Aku tidak memancing! Sardi sendiri yang mengeruhkan empang ini dengan racun serangga!”
“Satrio!”
Tak ada yang berani menghalangi waktu Satrio membuka pintu. Kerumunan menyibak, bergerak mengikuti bagaikan suporter Liverpool. Lorong dipenuhi barisan.
“Jangan ikuti aku!” suara Satrio menggelegar.
Semua mundur. Tapi segera mengekor lagi.
Bagaimanapun juga semua mengenal Satrio. Ketua seksi keamanan OSIS sekaligus pemegang sabuk biru dalam karate sekolah. Tidak pernah unjuk kekuatan, tapi tidak segan mengangkat kerah baju siapa saja yang mengacaukan kegiatan OSIS. Pernah menangkap basah maling jemuran di asrama. Tapi juga pernah tertangkap basah memimpin protes penurunan uang asrama.
Semua juga kenal siapa Sardi. Anak paling badung satu sekolahan. Dengan rambut dipanjangkan di bagian belakang dan baju kepanjangan yang tak pernah dimasukkan – kecuali kalau ditegur guru – lengkaplah penampilan Sardi sebagai murid bengal yang baik. Baik dalam artian simbolis: ribut dalam kelas, memancing kemarahan anak kampung, menyontek, menggoda gadis-gadis secara keterlaluan, atau berkelahi hanya karena masalah sepele.
Entah sudah berapa kali Sardi dipanggil ke ruang guru. Dan entah sudah berapa kali mengulangi kesalahan yang sama.
Pertemuan dua jagoan, walau dalam bidang berbeda, tentu bakal menarik. Itulah yang dinantikan anak-anak.
Satrio tegak di ambang kelasnya sendiri. Anak-anak mengintip dari balik tiang-tiang. Terdengar pintu dibuka keras. Di dalam, Sardi menunjukkan sikap tak acuh. Tetap ngobrol dengan tiga gerombolannya. Satrio mendekat, dan sadar bahwa jendela sudah dipenuhi penonton.
“Sardi Suwardi!” Satrio mengeja lengkap. Tenang. Berdiri dalam sikap sempurna, dua tangan siap dekat pinggang. Seolah hendak mencabut dua pistol sekaligus. Sorot matanya tajam.
Sardi menurunkan sebelah kaki. “Ada apa?”
“Kamu bilang apa tadi, sama Wiyanti?”
“Tidak bilang apa-apa.”
“Kamu bilang apa tadi?”
Ah, suasana mulai tegang.
“Aku cuma main-main.”
“Aku tidak main-main. Dan kata-katamu tadi sama sekali tidak lucu. Semua wanita pasti tersinggung mendengarnya.”
“Apa maumu sekarang?”
“Minta maaflah pada Wiyanti.”
“Enak saja!” suara Sardi mencemooh. Sekarang dia turun dari kursi. Berdiri tidak kalah gagah.
“Atau aku akan memaksamu.”
“Kamu menantang aku!”
“Ya!”
Suara keduanya sama menggelegar.
Penonton liar makin banyak. Yang ditonton makin mendekat. Semua bisa menyaksikan empat tangan mengepal. Empat mata saling menatap. Dan empat kaki menjejak kuat. Bisik-bisik komentar terdengar lirih.
“Sardi enggak akan menang.”
“Belum tentu.”
“Aku yakin Satrio bakal menggebrak dengan sekali hantam.”
“Belum tentu.”
Suara lain menengahi. “Sudah, diam dulu. Kita lihat saja bubarannya.”
“Tentu.”
Ronde tunggal sebentar lagi dimulai.
“Di sini?” Sardi menunjuk ubin.
“Apa gunanya berkelahi di sini? Baru mulai sudah ada yang memisah. Kita ke belakang sekolah. Di sana lebih tenang. Dan lebih leluasa menyelesaikan persoalan.”
Satrio keluar lebih dulu. Diikuti Sardi.
Anak-anak lari dari pintu yang terbuka. Satrio menatap berkeliling lewat sorotan galak. Semua bersembunyi di balik tiang. Waktu kedua jagoan melintasi lapangan, kerumunan seperti enggan bubar. Satrio menggerakkan tangan. Kalimatnya mengguntur.
“Jangan ikuti kami!”
Alhasil tak ada lagi yang berani maju.
Keduanya hilang di balik lab biologi.
Anak-anak menunggu dengan sabar. Sambil berbisik-bisik. Sambil mengunggulkan masing-masing jagoannya. Semua hanya mempunyai satu harapan: salah satu akan tampil sebagai pemenang. Tapi sampai setengah jam kemudian, waktu berlalu tanpa ciri khas suatu pertarungan. Tak ada suara bak-buk. Tak ada yang mengaduh. Pun tidak terasa getaran tanah.
Tak seorangpun berani mengintip.
Makin siang udara makin panas.
Yang muncul lebih dulu adalah Satrio. Disusul Sardi. Keduanya saling merangkul. Tak ada darah di bibir. Tak ada memar di pelipis. Tak terlihat kotor menempel pada baju.
Sebagian besar anak-anak tercengang. Tapi beberapa malah mengeluh. Menyesalkan pertarungan yang tidak lucu. Pertarungan yang tidak seru.
Sardi lebih banyak menunduk. Dan penonton mulai bertanya-tanya. Hanya Satrio yang tidak merubah cara berjalan. Pintu kelas dibukanya perlahan. Sardi diajak mendekati Wiyanti yang termangu.
“Nah, minta maaflah pada Wiyanti.”
Ragu-ragu Sardi mengulurkan tangan. “Sori, aku tadi cuma main-main. Lain kali akan hati-hati kalau ngomong.”
Wiyanti mengangguk.
Yang kemudian terdengar adalah suara Satrio. Mengguntur. Menyuruh penonton bubar. “Sudah! Sudah! Kembali ke kelas masing-masing!”
Semua memisahkan diri. Kerumunan pun bubar. Saat itupun segera tahu siapa yang sesungguhnya bersikap jantan. Walaupun tidak ada yang jadi pemenang. Walaupun juga tidak ada yang kalah.
Barangkali satu-satunya yang melegakan, setidaknya memberi pengertian baru, adalah kenyataan bahwa tidak semua kejantanan harus ditunjukkan lewat kekerasan. Ada cara yang lebih baik. Lebih ramah.

Hai no.37/X tanggal 16-22 September 1986

Setan!





Aku tidak tahu sejak kapan suka memaki begitu.
Aku selalu meneriakkannya kuat-kuat, setiap kali merasa kesal. Mungkin sejak jdi sekretaris osis, dan jengkel terus menerus melihat anak buah yang sulit diatur. Ah, tidak, tidak. Sejak dulu aku selalu menumpahkan kejengkelanku dengan umpatan yang sama. Atau sejak pacaran dengan Esti?
Mungkin juga.
Kalau tidak salah, mengurus cewek ternyata sama susahnya dengan mengatur organisasi.
Pokoknya aku akrab dengan setan sejak segala sesuatunya berubah menjadi aneh. Orang-orang tidak mau mengerti, dan lingkungan yang serba kaku, membuatku sering jengkel. Setiap kali merasa kesal, bisa dipastikan kata itulah yang keluar.
Celakanya aku ini selalu kesal.
Tepatnya, selalu dikesalkan sesuatu.
Seperti siang ini, misalnya. Baru satu kaki yang menginjak ubin asrama, Kibun sudah berteriak memanggil. Di tangannya ada selembar, ah lebih, kertas buram. Suaranya aku hapal persis.
“Bondaaaan! Bisa tolong ketikkan puisi ini? Masing-masing tiga lembar saja, buat lomba puisi besok!”
Aku mengeluh panjang. Setan! Pasti kerjaan lagi.
“Kamu tidak lihat aku baru saja datang, Bun?”
“Lihat. Tapi dari tadi kan kamu asyik pacaran sama Esti.”
Aku tertawa.
Pertama karena Kibun tidak bilang apa-apa lagi begitu konsep puisinya kuambil. Langsung pergi begitu saja. Kedua karena Kibun salah terka. Soalnya siang tadi aku tidak pacaran sama Esti.
Kami bertengkar.
Esti yang pertama kali mulai. Tanpa angin tanpa hujan, wajahnya jadi lucu karena cemberut. Aku melihat kiri kanan.
“Ada apa?”
“Sebel!” teriak Esti. Keras. Keras sekali. Seluruh kaca jendela kelas ikut bergetar.
“Sebel?”
“Iya. Esti sebel sama kamu!”
“Karena?...”
“Erik!”
“Erik Estrada?”
“Erik Suganda!”
Mataku menyipit. Berusaha mengembalikan semua ingatan. “Erik yang rambutnya pendek dibelah pinggir. Erik anak kelas dua be. Yang selalu bawa map jepit. Tahi lalat dekat hidung kecil, ow, maksudku tahi lalat kecil dekat hidung. Selalu tersenyum sebelum disapa!”
Aku bangga bisa menyebut ciri khas seorang teman dengan persis.
“Ada apa dengan Erik yang itu?”
“Dia bilang dia naksir aku!”
Aku terbahak. Aku tahu siapa Erik. Teman akrabku sendiri. Memang agak konyol, dan punya hobi menggoda cewek yang melintas dekat Warung Karman. Aku tahu itu. Aku tahu semuanya. Erik tak mungkin serius untuk menyatakan cinta.
“Kenapa tertawa? Mustinya kamu cemburu, Dan!”
“Lupakan saja, Esti. Erik cuma bercanda.”
Esti cemberut. Jelek sekali.
Sampai sore masih cemberut. Sampai, brak! Kepalaku membentur pintu. Anak-anak di ruang tamu tertawa. Riuh sekali.
“Aduh, Bondan! Kalau jalan jangan sambil melamun!”
Setan!
“Terbayang Esti terus ya?”
“Sebel!”
Aduh, celaka, aku jadi ketularan sebel!

Orang bilang, senyum bisa mengobati segalanya.
Aku percaya itu.
Buktinya segala kelelahanku pulih begitu melihat Esti datang menghampiri, dengan senyum paling manis yang pernah diperlihatkannya. Demi Tuhan, seharusnya aku bersyukur punya pacar seperti Esti.
“Sibuk, Dan?”
“Yah,” aku mengusap keringat. Sambil menyusun map sudah beres. Dan melirik tujuh puluh map yang tidak juga mau beres.
Esti tersenyum lagi.
“Kamu cakep kalau tersenyum,” pujiku serius.
“Oya? Tadi Erik juga bilang begitu.”
Erik! Erik lagi!
“Barusan dia titip salam buatku. Katanya, kapan aku boleh ke rumahmu?
“Lalu jawabmu?”
“Esti bilang, nanti malam minggu saja.”
“Setan!”
Esti tertawa. “Nggak setan kok. Malah Esti mau meledek Erik. Malam minggu besok kan kita ke Jembatan Merah. Biar saja Erik datang ke rumah. Toh, kita berdua sengaja jalan-jalan. Ya Dan, ya?”
Aku tersenyum. Esti memang paling bisa kalau mengakali orang.
Tapi sabtu sore aku tak mungkin tersenyum lagi. Baru saja selesai mandi waktu panggilan dari kepala sekolah itu datang. Langsung dijemput pakai hardtop dinas. Sore itu juga aku harus ke Ciawi mewakili ketua osis yang mendadak sakit perut.
Tidak sempat menghubungi Esti.
Tidak sempat titip pesan atau salam.
Hanya sempat membayangkan malam itu Erik betul-betul datang. Lantas keduanya ngobrol sementara aku terpaku mendengar pidato demi pidato sambutan yang bertele-tele.
Setan betul!

Senin pagi, Esti muncul memperlihatkan peranannya sebagai kekasih yang baik. Tidak marah. Tidak cemberut. Tapi juga tidak menyapa sama sekali.
“Aku minta maaf kemarin malam tidak bisa datang.”
Pengakuan yang tulus pasti mendapat ampunan yang tulus pula.
Esti mengangguk. “Tidak apa-apa. Esti tahu kamu sibuk. Banyak kegiatan. Banyak tanggungjawab. Bukankah Esti sudah berjanji akan memahami posisimu di sekolah ini?”
Bukan main! Aku senang sekali mendengarnya.
“Kemarin Erik datang?”
“Ya. Tadi pagi malah titip surat.”
“Surat apaan?”
“Surat cinta,” Esti mengeluarkan amplop. “Baca deh, Dan. Isinya lucu. Penuh rayuan gombal. Untung kamu dulu nggak pernah bikin yang beginian. Kalau iya pasti sudah Esti tertawakan.”
Aku membaca. Dan tertawa keras sekali.
Edan! Bisa-bisanya Erik membuat surat seperti itu. Betul-betul murahan. Kampungan. Dan tidak lucu sama sekali. Gombal betul.
“Erik nggak bilang apa-apa lagi?”
“Katanya dia betul-betul mengharapkan balasan cinta dari Esti.”
“Setan!”
“Siapa yang setan, Bondan? Esti setan?”
“Yeah,” aku mencoba tersenyum. “Kamu memang setan, Esti. Setanku yang paling manis di dunia.”

Aku tahu Esti agak sedikit kecewa.
Apalagi ia tahu aku tidak mungkin santai untuk minggu-minggu ini. Ada dies natalis. Ada bazar, pameran, porseni, lomba intern, dan entah apa lagi. Siang itu pun Esti tidak berani mengganggu. Entah sudah sejak jam berapa Esti duduk di situ, menunggu aku mengetik.
“Lembur lagi, Dan?”
Ah, suaranya belum berubah. Suara yang mencerminkan kesabaran.
Anggukanku tertelan tak-tik tak-tik mesin tik.
“Sudah lama kita tidak jalan-jalan ke Jembatan Merah.”
Aku mengangguk. Aku tahu Esti ingin diapeli. Aku tahu Esti ingin santai bersamaku. Tapi mustinya Esti juga tahu kesibukanku.
Kulihat Esti melihat keluar sekretariat. Ada Erik dekat musholla. Aku menatap tajam, dan mendadak merasa benci kalau sampai Erik datang lagi ke rumah Esti. Padahal dalam hati aku iri: kalau saja bisa santai seperti Erik.
“Nanti malam pasti aku datang.”
Aku tidak main-main. Aku ingin membahagiakan Esti. Ingin membuktikan betapa besar cintaku kepadanya.
Lihat, mata Esti membesar tanda gembira.
“Sungguh?”
“Sungguh.”
“Tapi kamu sibuk, Bondan!”
“Bisa kubereskan sebelum magrib. Nanti tunggu saja di rumah. Lepas Isya aku pasti datang. Oke?”
Esti mengangguk senang.
Aku juga senang karena betul-betul bisa rampung sebelum magrib. Buru-buru mandi. Menyabuni diri sebersih mungkin. Dan kembali ke kamar dengan dada basah. Kibun sudah menunggu dekat tumpukan kertas.
“Titipan dari seksi logistik. Berkas piagam untuk semua kejuaraan. Kalau bisa tolong ditandatangani sekarang.”
Setan, aku mendengus keras. Heran. Kenapa pekerjaan buatku tidak pernah ada habisnya? Mustinya aku santai sekarang. Tapi anak buah tak pernah mau tahu masalah itu. Selalu mengejar agar pekerjaan cepat beres.
Puluhan piagam kutandatangani. Pakai spidol yang ujungnya disayat meruncing. Tergesa-gesa. Tetap dengan handuk melilit pinggang. Aku berusaha secepat mungkin selesai.
Sampai badanku kering tanpa dilap.
Aku melihat jam tangan. Satu jam lagi.
Buru-buru memakai celana. Dua kali mencoba. Yang pertama karena salah ambil, punya teman sekamar yang warnanya sama tapi lebih panjang. Yang kedua karena merasa tidak enak kalau harus tetap memakai celana seragam.
Tak sempat memilih baju mana yang sudah disetrika. Kaos abri kusambar tanpa diperiksa. Padahal bagian pundak sobek sedikit.
“Dan!” seseorang memanggil lewat jendela. “Dicari anak-anak tuh!”
Cewek-cewek dari asrama putri sudah keburu muncul.
“Aduh, Bondan!...” semua berebut bicara. “Dicari di sekolah enggak ada. Kemana saja, sih?”
“Ada apa?”
“Mau tanya konsumsi untuk pembukaan besok. Anu, sebaiknya pakai sistim kupon atau sebar. Dan anggarannya….”
Setan!
Aku geregetan sendiri menahan jengkel. Seharusnya mereka sudah tahu apa yang mesti dilakukan. Dan malam itu aku terpaksa mengulangi sekali lagi. Bahwa sejak jaman Jepang kita pakai metode sebar langsung. Jangan pakai botol karena botolnya berisik. Pakai the kotak agar aman. Jangan diedarkan sebelum acara sambutan selesai, kecuali untuk guru-guru. Hindari pembagian jatah dobel. Lebihkan dari jumlah undangan, sebagai cadangan. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Semua anak putri mengangguk paham.
Aku mengangguk kepayahan.
Kulirik jam tangan. Sudah setengah tujuh. Tidak pas sekali. Agak lewat beberapa detik. Entah lima detik. Entah sebelas.
Setan! Aku mesti segera pergi.
Tubuhku melesat cepat sekali. Langsung ke kamar. Mengambil sepatu. Mencari-cari kaos kaki. Kaos kaki! Kaos kaki! Ya ampun, di mana kaos kaki hitam itu. Tumpukan baju sudah kuobrak-abrik. Sudut lemari kuperiksa tanpa membawa hasil. Akhirnya aku memakai sepatu tanpa kaos kaki.
Aku teringat Esti yang sudah menunggu. Aku tak mau terlambat. Aku ingin membahagiakan Esti. Tak boleh sampai mengecewakan lagi.
Sisir besar itu kubanting karena beberapa kali menyangkut pada rambut.
Iiiih, jadi gemes sendiri!
Rasanya aku sudah terlambat.
Lagi-lagi Kibun muncul. “Bondan, bisa tolong mengetikkan undangan buat juri? Beberapa peraturan dan….”
Setan!
Kutaksir darahku sudah memenuhi kepala ketika itu. Kaki kanan kubanting kuat-kuat. Lemari besi kubuka paksa. Kukeluarkan seluruh isinya. Kuletakkan di depan Kibun yang diam saja.
“Kibun, aku ada keperluan penting. Kamu bisa mengetik sendiri, bukan? Ini mesin tiknya,” aku memberikan. “Ini kertasnya, ini tip-eksnya, ini karbonnya, daftarnya, semuanya, semuanya!” aku mengangsurkan sesuai urutan, dengan dada mau pecah saking kesalnya.
“Sudah. Kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Kalau sampai nanti malam belum selesai, kita kerjakan sama-sama!”
Aku menyeka keringat.
Kulihat jam tangan. Sudah seperempat jam lebih dari janji. Aku mengeluh. Aku mengumpat. Memaki entah buat siapa, sambil mengayun langkah lebar-lebar menuju jalan raya.
Dua bemo pertama ternyata penuh. Bemo ketiga terisi empat orang. Aku meloncat masuk. Celaka. Supirnya kelewat tua. Cara mengemudikannya terlalu berhati-hati. Jadi seperti naik gerobak sapi. Aku tambah tidak sabaran. Setiap satu tikungan berarti satu kegelisahan.
Jam tanganku ikut berkeringat.
Aku sudah melompat sebelum bemo berhenti sepenuhnya. Lantas cepat menyeberang jalan. Memasuki gang gelap menuju rumah Esti. Dua kali terpeleset genangan air. Dua belas kali melihat jam tangan.
Kubayangkan Esti yang cemberut. Ow, gadis itu pasti sebel padaku. Tapi aku yakin Esti masih tetap menunggu. Ia setia padaku. Seperti juga aku yang setia padanya. Esti tak akan pergi kemana-mana.
Rumah itu gelap.
Pintunya tertutup.
Aku mengetuk tujuh kali, sebelum muncul sebentuk tubuh gelap membukanya.
“Selamat malam, Bu!” suaraku ikut terengah-engah.
“Eeee, nak Bondan. Ibu kira siapa.”
“Iya, Bu,” mataku mulai curiga. “Esti ada?”
“Lho, barusan pergi. Katanya ke Jembatan Merah. Sama nak Erik!”
Aku mengeluh.
Bayangan Esti terbang bersama keringat yang menguap.

Hai no.41/X tanggal 14-20 Oktober 1986

Tolong Balut Tanganku




 
Tiba-tiba Bondan muncul dengan tangan terbalut. Agak mencolok karena warna putih perban begitu kontras dengan kulitnya yang hitam. Memang tidak biasanya Bondan menderita luka separah itu. Toh semua menerima kenyataan itu apa adanya.
Fuad yang pertama kali bertanya.
Fuad pula yang pertama kali terkecoh.
“Kenapa tanganmu?”
Bondan mengangkat tangannya. “Seperti yang kamu lihat.”
“Patah tulang?”
“Cuma keseleo.”
Aku mendengar semuanya dari ranjang. Waktu Bondan melirik padaku, aku segera mengangguk. Aku tahu maksudnya.
“Sudah diobati.”
“Sudah,” aku yang menjawab.
Fuad mengangguk-angguk. Lalu memakai jaket. Lalu berpaling kepadaku, dan kepada Bondan juga tampaknya, sebelum meninggalkan kamar.
“Tidak akan nonton?”
Bondan menggeleng.
“Aneka Ria Safari sudah main.”
“Biar saja.”
“Ada Vina Panduwinata.”
“Bilang saja sama Vina, tanganku sedang sakit.”
Fuad tertawa.
Akhirnya aku sendiri yang turun. Memakai sendal. Melirik aula yang sudah dipenuhi anak-anak.
“Betul-betul tidak ingin nonton?”
“Tidak.”
Ternyata Fuad memang sahabat yang baik. Ia betul-betul menyampaikan pesan Bondan kepada Vina yang malam itu tampil. Akibatnya bukan cuma Vina yang mendengar, tapi semua penghuni asrama yang hadir di situ. Mereka saling berbisik. Sementara Vina tetap saja menyanyi.
Sesusai acara tivi semua melirik ke kamar kami.
Semua menanyakan keadaan Bondan. Semua memperhatikan perban putih yang melilit erat. Semua tampak begitu kuatir.
Bondan duduk dengan sikap memelas.
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa,” jawab Bondan berkali-kali. “Aku tidak tahu kalau ranjang itu sudah rapuh. Aku naik begitu saja. Dan terperosok waktu kayu-kayunya patah. Tanganku terjepit. Tapi tidak apa-apa. Cuma terpeleset. Cuma keseleo sedikit.”
Semua memandang iba.
Diam-diam aku mengeluh. Setidaknya karena aku tahu Bondan tidak mengalami apa-apa. Setidaknya karena aku ingat bagaimana Bondan menarik tanganku sore tadi. Memaksaku bangun.
“Ada apa?”
Bondan menyerahkan segulung perban. “Tolong balut tanganku.”
“Tanganmu kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa.” Bondan juga menyerahkan gunting. “Di lemari ada selusin perban macam ini. Aku tidak tahu untuk apa dulu membelinya. Sayang kalau tak dipakai.”
“Tapi tanganmu tidak apa-apa!”
“Nah, tolong balutkan.”
“Untuk apa?”
“Tolong balut tanganku.”
Aku tidak mengerti. Tapi permintaan itu kukerjakan juga.
Ketika tengah malam itu aku terbangun – dan melihat Bondan tidur dengan tangan digantung, seolah betul-betul sedang sakit – aku masih tidak mengerti.
Satu-satunya yang kumengerti adalah keesokan harinya. Ternyata pengaruh cerita Bondan begitu besar. Anak-anak yang semalam mengunjungi kamar kami, tidak ada yang berani tidur di ranjang.

Besoknya begitu lagi.
Menjelang tidur Bondan menarik tanganku. Di tangannya ada segulung perban lain. Perban baru.
“Tolong ganti perbanku.”
“Untuk apa?”
Bondan malah menyodorkan gunting. Dan aku seperti tidak bisa berpikir untuk menolak, atau menasehati, atau memberi saran, atau apa begitu. Apa yang terjadi kemarin, hari ini terulang lagi.
Juga besoknya.
Dan besoknya lagi.
Persoalan menjadi agak jelas waktu pelajaran olahraga. Sore itu seperti biasa acaranya lari-lari di tempat. Saat aku menunduk membetulkan tali sepatu – selalu saja kendor sebelah – saat itu pula kulihat Bondan duduk di pojok lapangan.
“Tidak olahraga, Dan?”
Ia memperlihatkan tangannya. “Masih sakit.”
“Pak Dedi mengijinkan?”
“Ya.”
Aku menatap iri. “Kamu beruntung bisa meninggalkan pekerjaan yang satu ini. Sejak awal tahun ajaran, olahraga tidak lebih dari sekedar senam, lari-lari di tempat, dan menggerakkan tangan kaki.”
Pantas tak maju-maju, gerutuku selalu.
Bondan tersenyum tipis. Senyum yang samar-samar dan sukar kutebak maknanya. Yang jelas sneyum itu terlihat sampai pelajaran olahraga selesai. Sampai lapangan sepi, dan aku menemukan Bondan berdiri dekat gerbang sekolah.
Aku tertawa. “Tidak biasanya kamu menunggu aku.”
“Siapa yang menunggu kamu?”
Sialan. Aku terjebak. Dan makin merasa terjebak karena kemudian seorang gadis menghampirinya. Aku seperti pernah mengenal. Tapi tak bisa segera memastikan. Kalau tidak salah dia dari seksi kesenian yang tiap sore mengadakan latihan tari.
Setan! Siapa yang mengira kalau Bondan jatuh cinta?
Selama ini ia lebih sering hadir sebagai sosok yang tidak jelas. Sebagai penghuni asrama yang tak masuk hitungan untuk dipertimbangkan kemampuannya. Sebagai siswa yang dijuluki ada tak jadi masalah, tidak ada pun tak mengapa.
Aku menunggu sampai Bondan selesai ngobrol. Sampai kulihat gadis itu melambaikan tangan, sambil menutup pintu gerbang asrama putri. Sampai aku menghabiskan lima pisang goreng tanpa kusadari.
Bondan tersenyum di pintu warung.
“Pulang sekarang?”
Kami berjalan bersisian. Alang-alang di tepi sawah bersaing dalam keremangan senja, dengan rumput gajah yang terayun-ayun akibat hembusan angin.
“Siapa tadi….”
“Susi maksudmu?” Ia sengaja menemuiku karena mendengar kabar bahwa tanganku sakit. Minggu lalu ia pernah tanya benarkah aku suka memanjat tebing. Kubilang suka, dan pernah jatuh sekali. Bekas kecelakaan itu kadang-kadang kambuh. Kalau terkilir sedikit saja, luka itu membengkak lagi.
Tadi ia menanyakan sakitku. Kubilang masih terasa ngilu, tapi tidak seberapa parah. Susi bilang, aku adalah cowok paling jantan yang dikenalnya di sekolah ini.”
Bondan tertawa panjang.
“Kamu pintar, Dan.”
“Oya?”
“Ya. Dengan akal-akalanmu itu kamu bisa menarik simpatinya.”
“Aku juga diijinkan tidak piket di asrama. Tidak usah menyapu kelas. Tidak disuruh maju mengerjakan soal. Boleh makan di kamar. Juga tak perlu praktek lapangan.”
“Sebaiknya kamu sakit saja terus.”
Bondan menggeleng. “Tidak. Terimakasih. Sebetulnya aku cuma memancing perhatian Susi. Dan itu sudah berhasil. Sudah cukup.”
Aku mencari kesungguhan dalam matanya.
“Ini perban terakhir. Nanti malam tolong lepaskan.”
Malamnya, perban sudah siap dibuka sewaktu Bondan tiba-tiba saja menarik tangannya. Fuad menyeruak masuk.
“Ada apa?”
“Besok kerja bhakti. Minggu depan Pak Menteri akan meninjau sekolah dan asrama kita.”
Aku dan Bondan saling berpandangan.
“Tidak jadi,” bisik Bondan. “Nanti saja kalau kerja bhakti sudah selesai.”
Besoknya, lagi-lagi aku harus merasa iri pada Bondan.
Sementara yang lainnya bersimbah keringat, ia enak saja membaca koran dalam kamar. Dan kecemburuan itu berlanjut karena kerja bhakti masih diteruskan besoknya. Besoknya. Dan besoknya lagi.
Empat hari berturut-turut aku menyiangi rumput.
Empat hari berturut-turut kulihat Bondan ngobrol dengan Susi.
(Dan tiga malam berturut-turut mengganti perban. Celakanya, Bondan sudah membeli lagi setengah lusin perban baru!)

Kelihatannya Bondan menikmati itu semua.
Sampai pada suatu sore pimpinan asrama memanggilnya. Aku melihat Bondan berjalan terttih-tatih menuju ruang tamu. Pembicaraan keduanya tampak akrab. Beberapa kali kulihat Bondan mengangkat tangannya. Memperlihatkan perban yang membalut rapat.
Yang kusaksikan sewaktu kembali ke kamar adalah keajaiban.
Ada ranjang baru di sudut ruangan. Bisa ditandai dari cat kuningnya yang masih mengkilat. Diatasnya Bondan tidur meluruskan kaki sambil membaca novel.
Tangannya tak lagi dibalut!
“Hei, ranjang baru ya?”
“Apa pendapatmu, kawan?”
“Kamu hebat.”
“Ah, tidak. Kebetulan saja tadi Pak Is menanyakan apakah tanganku masih sakit atau tidak. Tentu saja kukatakan masih ngilu kalau terlalu sering digerakkan. Waktu aku bercerita bahwa semua itu gara-gara terperosok di ranjang, Pak is menghubungi bagian gudang. Ranjangku dikeluarkan. Diganti ranjang baru.”
“Boleh minta sisa perbanmu?”
“Untuk apa?”
“Aku juga ingin ranjang baru.”
Bondan tertawa.
Tapi kali ini tawanya tidak mencapai finish. Pada saat bersamaan terdengar suara berderak. Keras. Keras sekali. Diikuti dengan terbenamnya tubuh Bondan dalam pelukan kasur busa.
Aku menyaksikan semuanya.
Tiba-tiba saja ingin tertawa. Tapi urung karena kudengar kemudian Bondan meraung keras. Waktu tangannya kutarik, ia malah menjerit lebih keras lagi. Jeritan yang terlontar sebagai penyaluran rasa sakit yang teramat sangat. Bukan sakit pura-pura lagi.
Akhirnya harus kuakui bahwa Bondan betul-betul beruntung.
Tengah malam ia menarik sarungku. Ditangannya ada segulung perban baru. Dan gunting kecil.
“Tolong balutkan tanganku.”
“Masih senang pura-pura sakit lagi?”
“Aku betul-betul sakit sekarang!”
Aku tersenyum. Sementara Bondan meringis waktu lukanya kuobati. Juga waktu perbannya kuikat. Ikatan yang kesekian. Dan inilah ikatan yang betul-betul berfungsi.
“Besok aku akan memberi tahu Susi. Ia pasti datang menengokmu. Sambil membawa makanan. Sambil minta diceritakan tentang cara memanjat tebing.”
Bondan mendengus.
“Dan kamu mendapat ranjang baru lagi.”
Bondan mendengus lebih keras.

Hai no.08/XII tanggal 23-29 Februari 1988