Kamis, 15 April 2010

Lupakan Saja


Joen membaca surat dalam genggamannya dengan gemetar.
Surat itu dari Karin – pacarnya – yang diposkan dari Ambon. Berarti Karin sudah di Ambon sekarang. Karin – pacarnya, kekasihnya – sekarang sudah di Ambon! Adakah kenyataan yang lebih mengejutkan daripada itu?

Joen, Karin minta maaf kalau kabar ini mengejutkanmu. Tapi please, jangan salahkan Karin. Minggu lalu Karin positif diterima di sebuah perusahaan perikanan di lepas pantai Ambon dan harus segera berangkat. Karin berusaha memberitahu tapi waktu telpon ke rumah katanya kamu belum pulang dari Sukabumi.

Ya, ya, dua minggu terakhir ini Joen memang berada di pedalaman Cikepuh, ikut menghitung populasi penyu yang terancam punah di sana. Tempatnya memang terisolir. Jauh dari mana-mana.

Karin tahu keputusan ini mengejutkanmu.
Tapi bukankah dulu kamu sendiri yang bilang bahwa ilmuku tidak ada gunanya kalau tidak diterapkan di lapangan? Itulah sebabnya Karin memutuskan berangkat karena hanya perusahaan itu yang memberi kepastian.

Ya, ya. Itu juga benar.
Dulu Joen memang pernah ngomong begitu. Karin itu sarjana perikanan, ahli budidaya perikanan laut. Jadi kalau ditempatkan di tengah-tengah laut ya memang sudah semestinya. Apalagi skripsinya kan tentang pemberdayaan nelayan dalam upaya meningkatkan produksi berorientasi ekspor atau apa – atau semacam itulah, Joen tidak ingat pasti.
“Lagipula kalau di kantor mau ngapain, coba?” hibur Joen waktu itu. “Cuma terima laporan saja? Percuma dong capek-capek nangkepin ikan kerapu kalau akhirnya cuma duduk di depan komputer.”
Karin mengangguk-angguk.
“Kamu tuh kalau bisa terjun ke lapangan dulu. Jadi paling tidak bisa memahami betul kondisi dan kendala-kendala di lapangan. Paling tidak satu tahunan. Kalau nantinya pindah ke kantor kamu sudah punya gambaran. Jadi enggak blank sama sekali.”
“Tapi nanti kita jadi jauh dong…”
“Karin sayang,” Joen merengkuh pundak kekasihnya. “Jaman sekarang ini apa sih yang jauh? Ada telepon. Ada kantor pos. Ada televisi. Apa lagi?”
“Jadi kamu tidak keberatan kalau Karin kerja ke luar Jawa?”
“Jangankan ke luar Jawa, ke luar negeri juga tidak apa-apa,” Joen mempererat rangkulannya. “Memangnya sudah ada kepastian?”
“Perusahaan yang terakhir wawancara nawarin kesempatan di Ambon. Mereka punya proyek percontohan di sana.”
“Bagus itu. Ambon kan masih Indonesia juga. Perikanan lautnya bagus lho.”
Dan itulah kenyataannya.
Karin betul-betul berangkat ke Ambon. Dan sialnya Joen tidak tahu – tidak sempat diberitahu dan tidak mungkin tahu karena sedang tidak di rumah. Kalau saja sempat tahu mungkin Joen akan setengah mati mencegah Karin berangkat ke sana.
Jangan! Jangan ke Ambon! Terlalu jauh!

Surat ini Karin tulis dari tempat kerja, di sebuah pulau tak berpenghuni di lepas pantai Pulau Seram. Transportasi ke pulau itu hanya lewat helikopter, sekitar dua jam dari kota Ambon. Tidak ada telepon. Tidak ada kantor pos. Hanya ada pesawat SSB untuk berkomunikasi dengan dengan kantor cabang.
Joen, Karin tahu semuanya akan berat tanpa dukunganmu. Karena itu Karin hanya mengharapkan doamu supaya bisa melalui hari-hari yang sepi dan melelahkan di sana. Hanya satu tahun saja, Joen. Karin janji. Hanya satu tahun saja. Setelah itu kita bisa bersama-sama lagi.

Hanya satu tahun katanya?
Satu tahun cukup lama. Dan selama satu tahun segala kemungkinan bisa terjadi. Atau, hei, jangan-jangan nanti Karin larut dalam pekerjaannya sehingga lupa kembali ke Jawa!
Joen membuang jauh-jauh pikiran buruk yang muncul.
Dilipatnya surat Karin hati-hati. Ketika akan menyimpan dalam laci, Joen baru menyadari ada seseorang yang mendatangi rumahnya. Dibukanya pintu. Dewi berdiri sambil tersenyum.
“Hai, Dew,” sapa Joen. “Masuklah.”
Dewi duduk. Matanya memandang surat yang tergeletak di atas meja.
“Kudengar Karin sudah di Ambon?”
“Ya,” Joen menunjuk surat itu. “Aku baru membacanya pagi ini. Kata Ibu kost suratnya datang dua hari yang lalu. Darimana kamu tahu?”
“Aku juga menerima suratnya. Kemarin”
“Oya?”
Dewi mengangguk. “Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Entahlah,” Joen menghela napas. “She left me.”
“Tidak,” Dewi berusaha tersenyum. “Ia tidak meninggalkanmu. Ia hanya pergi sementara, mengamalkan ilmunya, seperti yang kamu anjurkan.”
“Tapi ia tidak memberitahuku.”
“Karin berusaha memberitahu. Hanya saja kamu yang terlambat menerimanya.”
Joen mengangkat alisnya. Seperti hendak berkata, “Apa bedanya?” Tapi tidak terucapkan. Malah mengambil sebatang rokok. Menghisap perlahan.
“Menurutmu apa yang harus kulakukan, Dew?”
“Lupakan saja soal itu. Karin tidak bermaksud melupakanmu. Ia sudah berusaha menelponmu, tapi gagal. Itu sepenuhnya bukan salah Karin.”
Joen diam saja.
“Lebih baik kamu berdoa agar Karin baik-baik saja. Agar Karin bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Agar bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik.”
“Begitu?”
“Ya. Bukankah itu lebih baik daripada menyalahkan diri sendiri?”
Joen tersenyum sinis. “Kamu bisa bilang begitu karena tidak mengalami apa yang kurasakan.”
“Dewi tahu.”
“Kamu bisa bilang begitu karena August – pacarmu – masih sempat memberitahu sewaktu akan berangkat ke Aceh. Masih sempat berpamitan. Kita bahkan masih sempat sama-sama mengantarnya ke bandara. Sementara Karin, jangankan mengucapkan salam, membawakan kopernya saja aku tidak sempat!”
Dewi menghapus sudut matanya.
“Kamu benar, Joen. Tapi kamu lebih beruntung, karena Karin segera menyuratimu begitu sampai di Ambon. Sementara August, yang sudah berangkat sejak enam bulan lalu, sampai sekarang tidak satu surat pun yang dikirimkannya.”
“O ya?”
“Tapi Dewi tahu dia baik-baik saja. Hanya barangkali kondisi pekerjaannya belum memungkinkan untuk mengirim kabar. Tapi Dewi percaya dia baik-baik saja. Dan Dewi akan selalu berdoa agar semuanya baik-baik saja. Dalam keadaan seperti ini adakah yang bisa kita lakukan selain berdoa?”
Joen mengusap wajahnya sekali.
Dilihatnya awan berarak di kejauhan. Dibiarkannya Dewi menepuk pundaknya sebelum beranjak pergi.
Dewi benar, batin Joen.
Apa yang dikatakan Dewi sepenuhnya benar.
Joen akan melupakan saja.
Bukan, bukan melupakan Karin – bagaimanapun juga Karin adalah kekasihnya – tapi melupakan kekesalan hatinya. Melupakan rasa kecewanya. Karena yang dibutuhkan Karin adalah dukungan semangat agar ia bisa melewati hari-harinya dengan lancar.
Joen melipat surat Karin dengan rapi.
“Akan kutulis balasannya sekarang….”
Bogor, Juli 1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar