Aku tidak tahu sejak kapan suka memaki begitu.
Aku selalu meneriakkannya kuat-kuat, setiap kali merasa kesal. Mungkin sejak jdi sekretaris osis, dan jengkel terus menerus melihat anak buah yang sulit diatur. Ah, tidak, tidak. Sejak dulu aku selalu menumpahkan kejengkelanku dengan umpatan yang sama. Atau sejak pacaran dengan Esti?
Mungkin juga.
Kalau tidak salah, mengurus cewek ternyata sama susahnya dengan mengatur organisasi.
Pokoknya aku akrab dengan setan sejak segala sesuatunya berubah menjadi aneh. Orang-orang tidak mau mengerti, dan lingkungan yang serba kaku, membuatku sering jengkel. Setiap kali merasa kesal, bisa dipastikan kata itulah yang keluar.
Celakanya aku ini selalu kesal.
Tepatnya, selalu dikesalkan sesuatu.
Seperti siang ini, misalnya. Baru satu kaki yang menginjak ubin asrama, Kibun sudah berteriak memanggil. Di tangannya ada selembar, ah lebih, kertas buram. Suaranya aku hapal persis.
“Bondaaaan! Bisa tolong ketikkan puisi ini? Masing-masing tiga lembar saja, buat lomba puisi besok!”
Aku mengeluh panjang. Setan! Pasti kerjaan lagi.
“Kamu tidak lihat aku baru saja datang, Bun?”
“Lihat. Tapi dari tadi kan kamu asyik pacaran sama Esti.”
Aku tertawa.
Pertama karena Kibun tidak bilang apa-apa lagi begitu konsep puisinya kuambil. Langsung pergi begitu saja. Kedua karena Kibun salah terka. Soalnya siang tadi aku tidak pacaran sama Esti.
Kami bertengkar.
Esti yang pertama kali mulai. Tanpa angin tanpa hujan, wajahnya jadi lucu karena cemberut. Aku melihat kiri kanan.
“Ada apa?”
“Sebel!” teriak Esti. Keras. Keras sekali. Seluruh kaca jendela kelas ikut bergetar.
“Sebel?”
“Iya. Esti sebel sama kamu!”
“Karena?...”
“Erik!”
“Erik Estrada?”
“Erik Suganda!”
Mataku menyipit. Berusaha mengembalikan semua ingatan. “Erik yang rambutnya pendek dibelah pinggir. Erik anak kelas dua be. Yang selalu bawa map jepit. Tahi lalat dekat hidung kecil, ow, maksudku tahi lalat kecil dekat hidung. Selalu tersenyum sebelum disapa!”
Aku bangga bisa menyebut ciri khas seorang teman dengan persis.
“Ada apa dengan Erik yang itu?”
“Dia bilang dia naksir aku!”
Aku terbahak. Aku tahu siapa Erik. Teman akrabku sendiri. Memang agak konyol, dan punya hobi menggoda cewek yang melintas dekat Warung Karman. Aku tahu itu. Aku tahu semuanya. Erik tak mungkin serius untuk menyatakan cinta.
“Kenapa tertawa? Mustinya kamu cemburu, Dan!”
“Lupakan saja, Esti. Erik cuma bercanda.”
Esti cemberut. Jelek sekali.
Sampai sore masih cemberut. Sampai, brak! Kepalaku membentur pintu. Anak-anak di ruang tamu tertawa. Riuh sekali.
“Aduh, Bondan! Kalau jalan jangan sambil melamun!”
Setan!
“Terbayang Esti terus ya?”
“Sebel!”
Aduh, celaka, aku jadi ketularan sebel!
Orang bilang, senyum bisa mengobati segalanya.
Aku percaya itu.
Buktinya segala kelelahanku pulih begitu melihat Esti datang menghampiri, dengan senyum paling manis yang pernah diperlihatkannya. Demi Tuhan, seharusnya aku bersyukur punya pacar seperti Esti.
“Sibuk, Dan?”
“Yah,” aku mengusap keringat. Sambil menyusun map sudah beres. Dan melirik tujuh puluh map yang tidak juga mau beres.
Esti tersenyum lagi.
“Kamu cakep kalau tersenyum,” pujiku serius.
“Oya? Tadi Erik juga bilang begitu.”
Erik! Erik lagi!
“Barusan dia titip salam buatku. Katanya, kapan aku boleh ke rumahmu?”
“Lalu jawabmu?”
“Esti bilang, nanti malam minggu saja.”
“Setan!”
Esti tertawa. “Nggak setan kok. Malah Esti mau meledek Erik. Malam minggu besok kan kita ke Jembatan Merah. Biar saja Erik datang ke rumah. Toh, kita berdua sengaja jalan-jalan. Ya Dan, ya?”
Aku tersenyum. Esti memang paling bisa kalau mengakali orang.
Tapi sabtu sore aku tak mungkin tersenyum lagi. Baru saja selesai mandi waktu panggilan dari kepala sekolah itu datang. Langsung dijemput pakai hardtop dinas. Sore itu juga aku harus ke Ciawi mewakili ketua osis yang mendadak sakit perut.
Tidak sempat menghubungi Esti.
Tidak sempat titip pesan atau salam.
Hanya sempat membayangkan malam itu Erik betul-betul datang. Lantas keduanya ngobrol sementara aku terpaku mendengar pidato demi pidato sambutan yang bertele-tele.
Setan betul!
Senin pagi, Esti muncul memperlihatkan peranannya sebagai kekasih yang baik. Tidak marah. Tidak cemberut. Tapi juga tidak menyapa sama sekali.
“Aku minta maaf kemarin malam tidak bisa datang.”
Pengakuan yang tulus pasti mendapat ampunan yang tulus pula.
Esti mengangguk. “Tidak apa-apa. Esti tahu kamu sibuk. Banyak kegiatan. Banyak tanggungjawab. Bukankah Esti sudah berjanji akan memahami posisimu di sekolah ini?”
Bukan main! Aku senang sekali mendengarnya.
“Kemarin Erik datang?”
“Ya. Tadi pagi malah titip surat.”
“Surat apaan?”
“Surat cinta,” Esti mengeluarkan amplop. “Baca deh, Dan. Isinya lucu. Penuh rayuan gombal. Untung kamu dulu nggak pernah bikin yang beginian. Kalau iya pasti sudah Esti tertawakan.”
Aku membaca. Dan tertawa keras sekali.
Edan! Bisa-bisanya Erik membuat surat seperti itu. Betul-betul murahan. Kampungan. Dan tidak lucu sama sekali. Gombal betul.
“Erik nggak bilang apa-apa lagi?”
“Katanya dia betul-betul mengharapkan balasan cinta dari Esti.”
“Setan!”
“Siapa yang setan, Bondan? Esti setan?”
“Yeah,” aku mencoba tersenyum. “Kamu memang setan, Esti. Setanku yang paling manis di dunia.”
Aku tahu Esti agak sedikit kecewa.
Apalagi ia tahu aku tidak mungkin santai untuk minggu-minggu ini. Ada dies natalis. Ada bazar, pameran, porseni, lomba intern, dan entah apa lagi. Siang itu pun Esti tidak berani mengganggu. Entah sudah sejak jam berapa Esti duduk di situ, menunggu aku mengetik.
“Lembur lagi, Dan?”
Ah, suaranya belum berubah. Suara yang mencerminkan kesabaran.
Anggukanku tertelan tak-tik tak-tik mesin tik.
“Sudah lama kita tidak jalan-jalan ke Jembatan Merah.”
Aku mengangguk. Aku tahu Esti ingin diapeli. Aku tahu Esti ingin santai bersamaku. Tapi mustinya Esti juga tahu kesibukanku.
Kulihat Esti melihat keluar sekretariat. Ada Erik dekat musholla. Aku menatap tajam, dan mendadak merasa benci kalau sampai Erik datang lagi ke rumah Esti. Padahal dalam hati aku iri: kalau saja bisa santai seperti Erik.
“Nanti malam pasti aku datang.”
Aku tidak main-main. Aku ingin membahagiakan Esti. Ingin membuktikan betapa besar cintaku kepadanya.
Lihat, mata Esti membesar tanda gembira.
“Sungguh?”
“Sungguh.”
“Tapi kamu sibuk, Bondan!”
“Bisa kubereskan sebelum magrib. Nanti tunggu saja di rumah. Lepas Isya aku pasti datang. Oke?”
Esti mengangguk senang.
Aku juga senang karena betul-betul bisa rampung sebelum magrib. Buru-buru mandi. Menyabuni diri sebersih mungkin. Dan kembali ke kamar dengan dada basah. Kibun sudah menunggu dekat tumpukan kertas.
“Titipan dari seksi logistik. Berkas piagam untuk semua kejuaraan. Kalau bisa tolong ditandatangani sekarang.”
Setan, aku mendengus keras. Heran. Kenapa pekerjaan buatku tidak pernah ada habisnya? Mustinya aku santai sekarang. Tapi anak buah tak pernah mau tahu masalah itu. Selalu mengejar agar pekerjaan cepat beres.
Puluhan piagam kutandatangani. Pakai spidol yang ujungnya disayat meruncing. Tergesa-gesa. Tetap dengan handuk melilit pinggang. Aku berusaha secepat mungkin selesai.
Sampai badanku kering tanpa dilap.
Aku melihat jam tangan. Satu jam lagi.
Buru-buru memakai celana. Dua kali mencoba. Yang pertama karena salah ambil, punya teman sekamar yang warnanya sama tapi lebih panjang. Yang kedua karena merasa tidak enak kalau harus tetap memakai celana seragam.
Tak sempat memilih baju mana yang sudah disetrika. Kaos abri kusambar tanpa diperiksa. Padahal bagian pundak sobek sedikit.
“Dan!” seseorang memanggil lewat jendela. “Dicari anak-anak tuh!”
Cewek-cewek dari asrama putri sudah keburu muncul.
“Aduh, Bondan!...” semua berebut bicara. “Dicari di sekolah enggak ada. Kemana saja, sih?”
“Ada apa?”
“Mau tanya konsumsi untuk pembukaan besok. Anu, sebaiknya pakai sistim kupon atau sebar. Dan anggarannya….”
Setan!
Aku geregetan sendiri menahan jengkel. Seharusnya mereka sudah tahu apa yang mesti dilakukan. Dan malam itu aku terpaksa mengulangi sekali lagi. Bahwa sejak jaman Jepang kita pakai metode sebar langsung. Jangan pakai botol karena botolnya berisik. Pakai the kotak agar aman. Jangan diedarkan sebelum acara sambutan selesai, kecuali untuk guru-guru. Hindari pembagian jatah dobel. Lebihkan dari jumlah undangan, sebagai cadangan. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Semua anak putri mengangguk paham.
Aku mengangguk kepayahan.
Kulirik jam tangan. Sudah setengah tujuh. Tidak pas sekali. Agak lewat beberapa detik. Entah lima detik. Entah sebelas.
Setan! Aku mesti segera pergi.
Tubuhku melesat cepat sekali. Langsung ke kamar. Mengambil sepatu. Mencari-cari kaos kaki. Kaos kaki! Kaos kaki! Ya ampun, di mana kaos kaki hitam itu. Tumpukan baju sudah kuobrak-abrik. Sudut lemari kuperiksa tanpa membawa hasil. Akhirnya aku memakai sepatu tanpa kaos kaki.
Aku teringat Esti yang sudah menunggu. Aku tak mau terlambat. Aku ingin membahagiakan Esti. Tak boleh sampai mengecewakan lagi.
Sisir besar itu kubanting karena beberapa kali menyangkut pada rambut.
Iiiih, jadi gemes sendiri!
Rasanya aku sudah terlambat.
Lagi-lagi Kibun muncul. “Bondan, bisa tolong mengetikkan undangan buat juri? Beberapa peraturan dan….”
Setan!
Kutaksir darahku sudah memenuhi kepala ketika itu. Kaki kanan kubanting kuat-kuat. Lemari besi kubuka paksa. Kukeluarkan seluruh isinya. Kuletakkan di depan Kibun yang diam saja.
“Kibun, aku ada keperluan penting. Kamu bisa mengetik sendiri, bukan? Ini mesin tiknya,” aku memberikan. “Ini kertasnya, ini tip-eksnya, ini karbonnya, daftarnya, semuanya, semuanya!” aku mengangsurkan sesuai urutan, dengan dada mau pecah saking kesalnya.
“Sudah. Kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Kalau sampai nanti malam belum selesai, kita kerjakan sama-sama!”
Aku menyeka keringat.
Kulihat jam tangan. Sudah seperempat jam lebih dari janji. Aku mengeluh. Aku mengumpat. Memaki entah buat siapa, sambil mengayun langkah lebar-lebar menuju jalan raya.
Dua bemo pertama ternyata penuh. Bemo ketiga terisi empat orang. Aku meloncat masuk. Celaka. Supirnya kelewat tua. Cara mengemudikannya terlalu berhati-hati. Jadi seperti naik gerobak sapi. Aku tambah tidak sabaran. Setiap satu tikungan berarti satu kegelisahan.
Jam tanganku ikut berkeringat.
Aku sudah melompat sebelum bemo berhenti sepenuhnya. Lantas cepat menyeberang jalan. Memasuki gang gelap menuju rumah Esti. Dua kali terpeleset genangan air. Dua belas kali melihat jam tangan.
Kubayangkan Esti yang cemberut. Ow, gadis itu pasti sebel padaku. Tapi aku yakin Esti masih tetap menunggu. Ia setia padaku. Seperti juga aku yang setia padanya. Esti tak akan pergi kemana-mana.
Rumah itu gelap.
Pintunya tertutup.
Aku mengetuk tujuh kali, sebelum muncul sebentuk tubuh gelap membukanya.
“Selamat malam, Bu!” suaraku ikut terengah-engah.
“Eeee, nak Bondan. Ibu kira siapa.”
“Iya, Bu,” mataku mulai curiga. “Esti ada?”
“Lho, barusan pergi. Katanya ke Jembatan Merah. Sama nak Erik!”
Aku mengeluh.
Bayangan Esti terbang bersama keringat yang menguap.
Hai no.41/X tanggal 14-20 Oktober 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar