Kamis, 15 April 2010

Aku Suka Kumisnya



Namanya Riri.
Aku tidak bisa menjelaskan secara terperinci apakah hidungnya mancung, atau matanya mempesona, atau rambutnya dipotong pendek seperti Lady Di. Atau apa begitu. Aku juga tidak tahu kenapa Bondan sampai tergila-gila kepadanya, karena setahuku Riri bukan primadona di sekolah. Tidak termasuk siswi yang diperebutkan. Juga tidak memiliki kelebihan apa-apa. Tidak cantik sekali. Dan tidak bodoh sama sekali.
Bahkan – menurutku – Riri itu galak. Judes. Aku berani berkata begitu karena Riri sering melotot padaku. Biasanya ketika ia memergoki aku sedang melihat ke arahnya. Omongannya bisa menjadi kasar, aneh, dan kadang tidak kupahami maksudnya.
“Ceriwis,” kataku pada Bondan.
“Tapi aku suka.”
“Karena Riri urakan?”
“Tidak.”
“Karena gagah?”
“Tidak.”
“Karena…” aku meralat sendiri. “Pasti tidak juga.”
“Karena Riri punya kumis.”
Aku menatap aneh.
“Apakah kamu tidak tahu kalau Riri berkumis?”
“Aku tidak pernah memperhatikan.”
“Aku selalu memperhatikan,” Bondan tersenyum tipis. “Aku selalu berusaha bertemu dengannya. Pura-pura berpapasan. Hanya untuk melihat kumisnya. Apakah masih ada atau sudah lebih lebat dibandingkan sehari sebelumnya.
Aku selalu mengamati kalau dia berbicara.
Aku berharap suatu saat nanti bisa dekat dengannya. Bisa mengajaknya bercakap-cakap. Memancingnya berbicara. Supaya aku bisa mengamati kumisnya yang bergerak naik turun.
Aku suka kumisnya.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala.

Kupikir Bondan mengada-ada. Tapi kemudian harus kuakui Bondan punya alasan untuk berkata begitu. Bahkan akhirnya aku pun tahu alasan Bondan cukup masuk akal. Sebab sejak itu – setiap kali berpapasan dengan Riri – mau tak mau aku hanya memperhatikan satu hal saja. Yaitu kumisnya.
Betul.
Riri berkumis.
Ada bulu-bulu halus tumbuh di bawah hidungnya. Dari jauh memang tidak begitu kelihatan karena hampir menyerupai garis bibir. Tapi dari dekat, astaga, pantas Bondan sampai tergila-gila.
Apalagi sehabis berolahraga. Butir-butir keringat muncul melengkapi suasana.
Terus terang saja, aku terangsang.
“Hei!...”
Sekarang bibirnya setengah terbuka.
“Ngapain kamu melihati Riri terus!”
Kumisnya ikut naik turun!
“Brengsek!”
Riri berpaling ke arah lain. Yang tampak sekarang adalah bagian belakang kepalanya. Pertunjukan telah usai, kataku dalam hati.
“Riri nggak suka caramu, Tom…”
Aku baru sadar bahwa kemungkinan besar Riri marah padaku.
Barangkali tadi pun melotot padaku – seperti kebiasaannya selama ini. Tapi sekali ini aku tidak menjadi takut. Tidak merasa kalau dia galak. Dan tidak peduli kalaupun tadi Riri memarahiku, karena aku lebih tertarik pada kumisnya.
Setan! Aku memaki keras dalam hati.
Kenapa aku jadi ketularan Bondan?



Meskipun kemudian kami menyadari telah menyukai orang yang sama – juga karena sebab yang sama – kenyataan itu tidak membuat kami berselisih. Bahkan kami kadang-kadang bekerjasama untuk bisa melihat kumisnya. Aku memancing Riri berbicara, Bondan memperhatikan. Jika Bondan yang ngobrol dengan Riri, ganti aku yang pura-pura menjadi pendengar setia.
“Ternyata selera kita sama,” kata Bondan.
“Ya. Sama anehnya.”
Bedanya, aku tidak begitu tergila-gila. Lama kelamaan semua itu menjadi sesuatu yang wajar. Yang biasa-biasa saja.
Tapi Bondan tidak.
Makin hari ia semakin bersemangat. Bahkan setengah memaksa memintaku memancing Riri berbicara. Dan puncak dari semua itu adalah siang ini. Bondan mengajakku ke rumah Riri.
“Kamu tahu rumahnya?”
“Aku sudah lama menyimpan alamatnya.”
“Aku tanya rumahnya. Bukan alamatnya.”
“Nanti kita cari sama-sama.”
Itulah Bondan.
Ia selalu bisa mengambil hatiku. Selalu bisa membuatku mengikuti kehendaknya. Aku belum menjawab mau atau tidak, Bondan sudah memastikan sendiri. Optimitas yang luar biasa.
“Ada perlu apa ke sana, Dan?”
“Aku akan menyampaikan perasaanku.”
“Bahwa kamu suka padanya?”
“Bahwa aku suka pada kumisnya.”
Kami memerlukan waktu setengah jam lebih untuk menemukan rumahnya. Kemudian masih menunggu setengah jam lebih – sementara Riri mandi. Kulihat punggung Bondan basah oleh keringat, tepat pada saat Riri muncul dengan anggunnya.
Kami sama-sama melihat kumisnya.
“Masih tipis,” pikirku.
Mungkin Bondan juga berpikiran sama.
“Barangkali kunjungan kami mengejutkan,” kataku memecah kekakuan.
“Ya, karena mendadak,” Bondan yang menjawab.
“Sebetulnya saya hanya mengantarkan Bondan.”
“Ya, karena saya suka gugup kalau sendirian.”
“Tidak ada yang penting sebetulnya. Hanya ingin menyampaikan salam persahabatan kami. Karena di antara sekian siswi di sekolah, hanya Riri yang bisa begitu dekat. Begitu akrab.
Kami tahu Riri biasa-biasa saja. Tidak istimewa. Tidak lebih hebat dibanding yang lainnya. Tapi justru kesederhanaan itulah yang menyebabkan kami tidak merasa risih. Tidak merasa canggung.
Apalagi Riri sendiri sangat baik. Terbuka. Dan bisa menunjukkan sebagai teman satu sekolah. Jujur, ramah, rajin….”
“Dan berkumis.”
“Itulah yang menyebabkan kami selalu ingin dekat.”
“Ya. Terutama saya,” sela Bondan. “Saya suka kumismu.”
Riri diam saja.
Kesannya malah bingung. Barangkali merasa heran karena sejak tadi ia tidak sempat berbicara. Kuakui Bondan sembrono. Mustinya ia tadi diam saja. Biar aku yang memancing Riri berbicara. Dengan begitu Bondan akan lebih leluasa mengamati kumisnya.
“Bagaimana, Ri?”
Riri mengambil napas panjang.
Lalu memandang kami berganti-ganti.
“Jadi kalian sama-sama menyukai Riri?”
“Ya,” kami sama-sama mengangguk.
“Karena Riri punya kumis?”
“Ya.”
“Berarti selera kita sama.”
“Oya?”
“Ya. Karena Riri juga menyukai cowok yang berkumis.”
Aku dan Bondan saling berpandangan.
Ketika itulah kami sama-sama sadar, bahwa di antara kami tidak ada yang berkumis. Bagian bawah hidungku bersih. Begitu pula dengan Bondan.
Jawaban yang mematikan, pikirku.
Aku segera tahu bahwa Riri menolak secara halus. Tapi tampaknya Bondan tidak. Ia beranggapan apa yang dikatakan Riri sebagai suatu permintaan. “Dan aku akan memenuhinya.”
Sudah dua bulan terakhir ini Bondan menjadi aneh.
Sering menarik-narik bulu halus di bawah hidungnya. Yang membuatku jengkel, Bondan melakukan kegemaran barunya itu di mana saja. Di sembarang tempat. Di kamar, di ruang belajar, di belakang WC sekolah, di perpustakaan, di bis kota, di sela-sela jam istirahat.
Kalau kutegur jawabannya selalu sama.
“Supaya kumisku cepat tumbuh.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Tom,” Bondan merangkul pundakku. “Kalau nanti kumisku sudah tumbuh, mau menemani aku ke rumah Riri lagi kan?”


Hai no.50/XII tanggal 13 – 19 Desember 1988


Tidak ada komentar:

Posting Komentar