Kamis, 15 April 2010

Gitar



Sudah lewat tengah malam.
Dari kamar sebelah terdengar dentingan gitar. Masih terdengar, karena rasanya sudah ada sejak sore tadi. Dan kini menjadi semakin jelas. Semakin memecahkan kesunyian asrama yang terlelap.
Rasanya aku hapal suara itu.
Hapal karena hampir setiap malam mendengar suara yang sama, pada waktu yang kira-kira sama, dari kamar yang sama, dan digerakkan oleh tangan yang sama. Tangan Bondan.
Harus kuakui Bondan hebat.
Ia bisa bermain bagus. Padahal tanpa kursus. Tanpa guru.
Tanpa buku petunjuk.
Hanya mengandalkan naluri dan ketekunan yang luar biasa. Latihan semalaman penuh, dan tidur sesiang penuh. Tapi hapal dengan persis mana senar yang harus ditekan – mana yang dipetik – untuk memulai satu lagu. Juga bisa menentukan sendiri apakah digerakkan satu persatu, atau dalam satu gebrakan.
Terus terang, aku iri.
Ingin bisa seperti Bondan. Tapi jangankan mendendangkan satu lagu, memegang posisi grip paling ujung saja tanganku tidak sampai. Terlalu jauh.
Malam merayap terus.
Suara itu berdenting tanpa putus.
Kadang aku mengenalinya sebagai lagu barat. Paling sering Love Of My Live-nya Queen. (Tampaknya juga yang paling disukainya. Sebab sesekali diikuti senandung. Atau siulan). Kadang disambung iklan rokok, iklan bir, atau jinggel Si Unyil. Kadang bercampur jadi satu.
Kadang aku – terutama batinku – terusik.
Seperti malam itu.
Cepat kuraih jaket. Kuambil sendal di bawah ranjang. Kemudian menghampiri Bondan yang duduk di meja kamarnya.
“Belum tidur?”
Aku menggeleng. “Lapar. Mau menemaniku ke tukang bubur?”
“Tidak punya uang.”
“Aku yang bayar.”
Bondan tersenyum. Samar-samar.
Hanya yang sudah akrab saja yang bisa mengenali senyum itu. Bagi yang baru ketemu, pasti sulit memastikan apakah Bondan tersenyum atau menatap tajam.
Angin di luar terasa dingin.
Kami meloncati pagar asrama. Memasuki kios bubur, satu-satunya kios makanan yang buka sampai pagi, dan segera disodori dua mangkuk bubur. Pemilik kios seperti sudah hapal kebiasaanku.
Aku menikmati tanpa suara. Seperti juga Bondan yang menikmati tanpa menawari, tanpa berbasa-basi. Siaran wayang golek yang menggemeresek dari dari transistor pemilik kiostidak menjadikan suasana tambah enak. Bahkan mengganggu, karena setiap sekian menit sekali harus diketuk-ketuk agar suaranya terdengar.
“Tambah lagi?”
Bondan menggeleng.
Ketika itulah aku menangkap utuh wajahnya. Wajah yang selalu kulihat tiap hari, yang selalu acuh tak acuh. Dan biasanya kutemukan dalam keadaan setengah mengantuk di barisan paling belakang.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Tapi kamu memperhatikan aku.”
“Kebetulan saja,” kataku pelan. “Barangkali sekedar rasa heran karena aku tak pernah melihatmu belajar.”
“Kalau sore, kadang-kadang.”
“Tiap sore kamu pasti tidur.”
Bondan meringis.
“Dan, minggu depan sudah ujian smester.”
“Aku tahu.”
“Kamu sudah siap?”
“Bagaimana nanti saja.”
Aku mengeluh.
Bagaimana juga aku prihatin melihat ketenangannya. Sementara yang lainnya sibuk menghapal, sibuk mencari berkas soal ujian tahun sebelumnya, Bondan tidak peduli sama sekali. Hanya meminta jadwal ujian. Selebihnya adalah memetik gitar terus-menerus.
“Sudah?”
Bondan hanya minta sebatang rokok. Lalu aku membayar semuanya. Lalu kembali melompati pagar asrama. Bondan sendiri tidak bilang apa-apa – juga ucapan terimakasih – langsung masuk kamar. Aku baru saja mematikan lampun belajar ketika Love Of My Live mengalun kembali. Mendayu-dayu. Dan merdu.
Ketika subuh terjaga, dentingan itu masih ada.
Ketika aku menyempatkan ke kamarnya sebelum berangkat ke sekolah, kulihat Bondan masih tertidur pulas. Memeluk gitar kesayangannya erat-erat.
Aku menggumam lirih.

Aku tahu sekarang sudah ujian semester.
Tapi Bondan – kelihatannya – tidak.
Mungkin ia tahu. Tapi tidak peduli. Tetap saja begitu. Tetap memetik gitar saat yang lainnya terlelap. Aku selalu mendengar karena aku baru belajar di atas jam sebelas.
Love Of My Live mengalun perlahan.
Aku mengetuk dinding kamar. Suara itu berhenti.
“Sudah belajar, Dan?”
“Mau. Sebentar lagi.”
“Besok statistika. Kamu sudah siap?”
“Mudah-mudahan.”
Lalu Love Of My Live mengalun lagi.
Aku berharap Bondan menghentikan gitarnya. Ganti memegang buku. Menghapal. Atau latihan soal. Aku ingin ia melakukannya. Paling tidak ia mau berusaha untuk mendapat nilai bagus. Berusaha menyesuaikan diri dengan suasana ujian.
Harapan itu sia-sia.
Gitarnya tidak juga diletakkan. Bahkan semakin mendayu-dayu, mengisi malam, dan membuaiku sampai tertidur di atas meja. Sampai akhirnya terjaga ketika ada tangan yang membangunkanku. Ternyata tangan Bondan sendiri.
“Tidak ke sekolah?” tanyanya santai. “Sudah setengah tujuh.”
Aku buru-buru mandi.
Buru-buru mengemasi buku.
Bondan tampak tenang. Bahkan sempat menertawakan kesalahanku memasang sabuk. Ia sendiri menmbiarkan ujung baju bagian depan terjuntai keluar. Sisiran pun memakai sepuluh jari. Satu-satunya yang dibawa hanyalah sebuah buku tipis bergambar penyanyi. Dilipat dua. Diselipkan begitu saja di saku belakang.
Buku itu sudah lusuh.
Dan aku tahu, tidak ada sebaris tulisan pun di dalamnya.

Ketika ujian semester usai, suara gitar itu tidak terdengar.
Aneh.
Dan baru kuketahui sebabnya waktu sore tadi aku mampir ke kamarnya. Bondan memeluk gitar, memperlihatkan telunjuk kanannya yang terbungkus perban. Yodium dibubuhkan terlalu banyak, sehingga merahnya menjalar kemana-mana.
“Kenapa tanganmu?”
“Kena silet.”
Bondan berusaha menggerakkan jarinya. Berusaha memetik gitar kesayangannya. Suaranya sama sekali tidak enak. Tidak rapi. Bondan sendiri kulihat meringis beberapa kali.
“Istirahat dulu, Dan.”
“Aku ingin main gitar.”
“Tapi jarimu luka.”
“Nanti juga sembuh.”
“Ya. Tapi kalau kamu tidak istirahat dulu, kapan luka itu akan sembuh? Tinggalkan dulu gitarmu untuk sementara. Tunggu sampai lukamu sembuh. Baru setelah itu kamu bisa main gitar lagi sepuasnya,” aku meraih gitar itu. Bondan mempertahankan. “Dan, kamu dengar apa yang kukatakan?”
Bondan melihat ke arah lain.
“Aku ingin mengajakmu nonton. Ada film bagus di….”
“Aku tak tertarik film. Aku tak butuh hiburan. Tidak butuh siapa-siapa. Tidak juga kamu!” kemarahannya sangat datar. “Aku hanya membutuhkan orang yang mau memahamikegemaranku. Aku hanya ingin main gitar. Kamu dengar kata-kataku?”
Aku mengeluh dalam hati.
Berhari-hari sesudahnya aku masih mendengar suara gitar yang tidak sempurna. Suara yang dihasilkan oleh jari yang terluka. Tampaknya Bondan berusaha memulihkan kemampuannya. Kubayangkan betapa Bondan amat tersiksa. Tapi juga harus kuakui kegigihannya. Petikan gitarnya mulai lancar. Sedikit demi sedikit.
Dan ketika suaranya sudah sempurna, aku malah tidak bisa menikmatinya sama sekali. Waktunya bersamaan dengan pengumuman hasil ujian. Anak-anak berebut melihat, berebut mencari namanya sendiri, dan membawa hingar bingarnya sampai ke asrama.
Bondan memperoleh nilai tertinggi.
Itulah yang membuatku tidak percaya.
Juga ketika banyak yang datang ke kamarku. Berkumpul. Membicarakan keberhasilan Bondan. Ada yang bilang Bondan memiliki kemampuan di atas rata-rata. Ada yang menyebutnya jenius. Ada yang yakin Bondan belajar sambil memetik gitar.
Aku tidak bisa bilang apa-apa.
Juga ketika pembicaraan berubah menjadi perdebatan. Masing-masing mempertahankan pendapatnya. Masing-masing mengajukan alasan dan dugaan. Masing-masing berebut bicara. Sampai jauh malam Sampai mereka bosan dengan sendirinya.
Di kamar sebelah, Bondan tetap memetik gitarnya.

Hai no.35/XII tanggal 30 Agustus – 05 September 1988


Tidak ada komentar:

Posting Komentar