Selasa, 13 April 2010

Keriting





Aku benci rambut keriting.
Jangan tanyakan sebabnya karena aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena pernah memperoleh pengalaman buruk dengan orang-orang berambut keriting. Dulu sekali pernah ribut dengan penjaga perpustakaan di Gedung Pusat. Rambutnya keriting. Ia mengatakan aku tidak tahu aturan, selonong boy, dan menasehati aku dengan cara yang amat memuakkan.
Tentu saja aku tidak terima.
Soalnya sudah lebih dari tiga tahun aku sering ke situ, dan susunan acaranya ya seperti itu. Mendorong pintu kuno yang berat, menitipkan tas, lalu cari sendiri bukunya.
“Apa saya harus mengetuk pintu lebih dulu?” tanyaku dengan nada keras.
Satu ruangan mendengar semua.
Memperhatikan semua.
Apalagi si keriting itu menasehati aku seperti menasehati bocah belasan tahun. Kalau aku diam saja, itu karena sadar dia berkuasa di situ. Mungkin memang tujuannya mencari perhatian. Kalau terjadi bukan di dalam ruangan, persoalannya pasti menjadi lain.
Akhirnya aku tidak jadi membaca.
Dan sampai berbulan-bulan kemudian benci setengah mati kepada penjaga perpustakaan berambut keriting itu. Bahkan tidak mau menginjakkan kaki di gedung itu lagi. Setiap kali ada yang mengajak, alasanku selalu sama.
“Nanti saja, kapan-kapan, kalau si keriting itu sudah mati.”
Ternyata dia tidak mati-mati.
Kemudian – sekali lagi – aku harus berhadapan dengan manusia berambut keriting. Tapi bukan di perpustakaan, melainkan tetangga kelasku. Aku tahu dari pengakuan pacarku sendiri. Ternyata diam-diam si keriting yang satu itu juga naksir pacarku.
Waktu Winar bercerita pertama kalinya, aku belum merasa apa-apa sedikit pun.
“Dan,” cerita Winar pada suatu siang. “Masak ada yang naksir Winar lho!”
“Siapa?”
“Robert, anak kelas tiga A.”
“Robert?”
“Iya. Sudah tiga kali lho dia kirim surat cinta. Hampir tiap hari kirim salam. Tadi pagi malah langsung ke tempat Winar, tanya kenapa surat-suratnya belum ada yang dibalas.”
“Robert?”
“Iya. Yang badannya gede itu. Masak kamu nggak kenal? Dia kan suka jadi kapten kalau ada pertandingan basket.”
“Anak mana?”
“Jakarta. Tapi kelahiran Flores.”
“Aku nggak kenal.”
“Besok deh Winar tunjukin.”
Waktu itu aku tidak punya bayangan apakah Robert rambutnya menjurai sampai punggung, atau keriting, atau lurus, atau lancip seperti landak, atau bahkan botak licin. Aku juga tidak terlalu memikirkan karena peristiwa seperti itu sering terjadi. Selalu saja ada yang naksir padanya. Selalu saja ada oknum-oknum yang mendekati Winar. Rasanya aku tidak begitu peduli. Sebab pada akhirnya mereka tahu Winar pacarku. Dan – biasanya – mereka juga cukup tahu diri.
Kali ini justru aku yang tidak bisa menahan diri.
Karena manusia yang bernama Robert itu berambut keriting.
Akhirnya aku sendiri yang mengatakan padanya bahwa Winar adalah pacarku. Reaksinya sudah bisa ditebak. Dan kami bertengkar di tengah sekolah. Ditonton ramai-ramai. Digiring ke ruang guru. Urusan selesai siang itu juga.
Tapi kebencianku pada rambut keriting semakin tinggi. Makin menumpuk. Menjadi semacam trauma yang susah dilupakan. Padahal aku juga sadar tidak semua yang berambut keriting itu jelek. Tapi dua peristiwa utama tadi – ditambah belasan peristiwa kecil-kecil yang melibatkan manusia berambut keriting – membuatku alergi pada rambut sejenis itu. Jangankan berurusan langsung, melihat orang berambut keriting di kejauhan saja bisa menggatalkan badanku.
Untung itu hanya berlaku pada rambut kepala.
Bukan rambut yang lainnya.
Itu pula sebabnya aku pernah melotot besar sewaktu Winar meminta pendapat tentang, “Bagaimana kalau rambut Winar dikeriting?”
“Jangan!” jeritku seketika.
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan!”
(Aku memang tidak pernah – dan tidak akan – bercerita padanya tentang sifat alergiku terhadap rambut keriting.)
“Tapi kalau Winar kepingin?”
“Jangan deh Win. Rambutmu sudah bagus. Kalau dikeriting kurang cocok. Nanti jadi seperti sarang burung.”
“Biarin.”
“Demi Tuhan, Win. Jangan!”
“Kok tumben kamu pakai melarang segala. Biasanya kamu tidak peduli sama penampilan Winar.”
“Jadi kamu serius mau keriting rambut?”
“Iya.”
“Oke. Boleh. Silakan,” kataku beruntun. “Silakan rambutmu dikeriting. Bikin sekeriting-keritingnya. Tapi….”
“Tapi apa?”
“Jangan temui aku sebelum rambutmu lurus kembali!”

Akhirnya Winar urung mengeriting rambutnya.
Syukurlah.
Namun bukan berarti kebencianku pada rambut keriting menjadi luntur. Aku tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari bayangan manusia berambut keriting. Dalam praktek akhir aku kebagian guru pembimbing yang rambutnya keriting. Di desa tempat praktek, aku diberi lahan milik petani yang salah seorang anaknya berambut keriting. Dan sebagian benih cabe yang kutanam di kebunnya, tumbuh dengan daun mengeriting – karena diserang hama.
Lalu ujian seminggu.
Selama tiga hari di antaranya, ruanganku dijaga oleh pengawas berbadan besar yang bukan hanya rambutnya – tapi juga bulu tangannya – keriting. Nilai murniku pun melahirkan gambaran keriting dalam benakku, yaitu dua koma tiga-tiga.
Kemudian sibuk mengajukan lamaran.
Untung selama itu tidak ketemu orang-orang berambut keriting. Hanya saja pada beberapa malam terakhir ini aku sering sekali bermimpi. Dan mimpi semalam adalah yang terburuk. Aku terjebak di tengah kerumunan. Entah di stasiun entah di tengah pasar, aku lupa. Yang jelas kerumunan itu didominasi oleh orang-orang keriting!
Aku terbangun dengan punggung basah oleh keringat.
Tidak punya prasangka apa-apa, meskipun siangnya agak terkejut karena mendapat surat panggilan dari salah satu perusahaan yang sebelumnya kutitipi berkas lamaran.
Semoga bukan perusahaan orang keriting, gumamku.
Ketika menghadap keesokan harinya, aku bersyukur karena yang menerima kedatanganku tidak keriting. Rambutnya biasa-biasa saja. Lurus, dibelah tengah, dan memakai kacamata.
“Saudara Bondan ya?” katanya sambil menyalamiku. “Masuklah. Duduk, dan selamat datang di tempat kerja Saudara.”
Aku duduk dengan napas lega.
“Kami sudah meneliti berkas lamaran yang Saudara Bondan antar beberapa hari lalu. Setelah mempertimbangkan ini itu, akhirnya kami sepakat untuk menerima Saudara bekerja di sini.”
“Terimakasih, Pak.”
“Perlu Saudara ketahui, perusahaan ini bergerak di bidang usaha hortikultura. Kami menanam sayur-sayuran di areal yang tersebar di beberapa kawasan di Indonesia. Hasilnya dilaporkan ke pusat, kemudian dijual. Sebagai lulusan sekolah pertanian, tentu saja Saudara Bondan tidak kami tempatkan di sini. Melainkan di areal tanam yang baru saja kami olah bulan lalu.”
“Di mana itu, Pak?”
“Di Ambon.”
“Astaga!” aku langsung menjerit kaget.
“Kenapa?”
“Di Ambon kan Yoppi Latul melulu!”
Orang itu tertawa.
“Istilah Saudara lucu sekali.”
Aku tidak mungkin ikut tertawa.
Karena daerah Timur merupakan daerah yang termasuk daftar merah buatku. Di sana sebagian besar masyarakatnya berambut keriting. Padahal aku kan alergi dengan rambut keriting.
Setiap kali mendengar kata Ambon, ingatanku langsung melayang pada Yoppi Latul, Harvey Malaiholo, atau Ellyas Pical. Tidak sedikit pun terpikir untuk mengunjungi daerah itu. Dan sekarang aku akan dikirim ke tempat di mana orang-orang berambut keriting berkumpul!
“Saudara tidak perlu kuatir. Akomodasi, transportasi, dan biaya sehari-hari kami tanggung.”
Bukan, bukan itu, keluhku.
“Dan sebelum berangkat, saya akan memperkenalkan Saudara terlebih dahulu dengan calon atasan Saudara. Beliau yang nanti mengawasi tugas dan pekerjaan Saudara.”
Lelaki berambut lurus dibelah tengah dan memakai kacamata itu mengajakku ke ruangan lain. Ia membukakan pintu, tapi menyuruh aku masuk sendiri.
Di dalam, seorang lelaki gagah berdiri menyambutku. Menyalamiku kuat-kuat.
Kucoba untuk tersenyum kepada calon atasanku. Tapi segera sesudah itu senyumku berubah menjadi sumbang.
Karena – ternyata – calon atasanku berambut keriting.

HAI No.19/XIV, tanggal 08 Mei 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar