Kamis, 15 April 2010

Segenggam Harapan


Tiba-tiba Andri muncul di rumahku. Muncul begitu saja tanpa memencet bel atau meneriakkan salam. Pasti juga lupa menutup pintu pagar kembali, seperti kebiasaannya selama ini. Cewek yang nama dan penampilannya mirip cowok itu langsung meluruk ke kamarku. Rambutnya tampak gondrong. Ransel yang disandangnya tampak berat.
“Mau menemani aku, Ren?” tanyanya perlahan.
“Kemana?”
“Ke Papandayan.”
“Frustasi lagi?”
Andri tidak menjawab. Aku juga tidak bertanya lagi, karena sudah hapal kebiasaan temanku yang satu itu. Kalau sedang tidak ingin ketemu siapa-siapa, Andri selalu mengajakku pergi. Entah ke gunung, entah ke pantai, atau sekedar naik kereta api ke kota lain lalu kembali lagi. “Hanya sekedar memuaskan diri,” katanya. Dan itu bisa dalam rangka frustasi, kecewa, kesel, atau sedang ingin menyendiri. Kalau siang ini Andri mengajak ke Gunung Papandayan, paling-paling karena habis ribut dengan Joen, pacarnya.
“Renny, kita bisa berangkat malam ini.”
Siang itu juga aku menyiapkan ransel. Subuh keesokan harinya kami sudah duduk menekuk lutut di depan padang rumput. Angin dingin menembus sampai ke dalam tenda darurat yang kami bangun dari jas hujan dan daun-daun seadanya. Pucuk edelweiss berayun lembut, sementara di latar belakang matahari mulai menampakkan sinarnya.
“Kami bertengkar dua hari yang lalu, Ren. Seperti biasa. Meributkan masalah yang kupikir sepele sekali.”
“Joen cemburu padamu?”
“Bukan. Joen tidak mempercayai aku lagi.”
“Apa bedanya?”
Andri tersenyum tipis. “Ya jelas beda dong. Cemburu tidak sama dengan ketidakpercayaan. Susah menjelaskannya kepadamu. Apalagi kamu sendiri masih takut berpacaran.”
“Kamu menyindirku.”
“Sori,” Andri merangkul kencang. “Aku cuma bergurau. Maunya sih kamu jangan terlalu lama tenggelam dalam kekecewaan. Yang lain kan masih banyak. Cari lagi. Nanti kamu punya alasan untuk kesal, untuk dicemburui, dan kapan-kapan ganti mengajakku ke sini.”
Aku pura-pura membetulkan atap.
Terus terang saja, aku merasa risih. Nasehat dan sindiran semacam itu semakin membuatku tersisih. Semakin membuatku merasa asing dengan diri sendiri. Haruskah kujelaskan lagi pada Andri bahwa sudah setahun terakhir ini aku tak tertarik pada cinta.
Aku lebih tertarik mengerjakan yang lain. Menyiapkan sarapan, dan seharian itu tak punya kegiatan yang berarti. Cuma tidur-tiduran di atas rumput, membaca novel yang sempat kubawa, dan merasa aneh ketika menyadari betapa hari cepat sekali menjadi sore.
Sampai tengah malam kulihat Andri masih melamun. Matanya tak lepas memandang langit-langit tenda. Kupikir Andri lebih pendiam kali ini. Tidak urakan seperti biasanya.
“Belum tidur?”
“Belum,” suaranya datar. Tanpa tekanan sama sekali. “Kayaknya aku harus merenungkan kembali hubungan kami. Heran, aku kok tambah bingung melihat sikap Joen selama ini. Sudah lebih dari dua tahun kami pacaran, tapi kenapa ia masih mempermasalahkan hubunganku dengan bekas pacarku waktu SMA.”
“Joen tahu?”
“Tahu, karena aku pernah cerita. Pernah mengatakan bahwa aku masih bersahabat dengan bekas pacarku, meskipun sudah putus sebagai pacar. Kadang kami saling berkirim surat. Sesekali ia juga suka ke rumahku.”
Aku tidak bisa menyembunyikan kegalauanku.
“An, kamu tahu apa sebabnya aku masih malas berpacaran?”
“Tidak.”
“Karena aku tidak mau bingung seperti kamu.”

Besoknya kami turun ke Cileuleuy, kampung terdekat di kaki gunung. Di sana ada warung, bisa ketemu penduduk, dan yang paling menyenangkan adalah pandangan bocah-bocah yang agaknya heran melihat kehadiran kami. Jumlahnya belasan, bergerombol mengikuti langkah kami dari belakang.
“Mereka kagum padamu, Ren.”
“Ya. Karena aku mirip bintang film.”
Andri terbahak-bahak.
“Hei, semalam kamu bisa tidur?”
“Tidak. Aku ingat Joen terus.”
“Untung aku tidak ingat siapa-siapa.”
Tapi dalam perjalanan kembali ke Papandayan, ingatanku mendadak terusik. Di sebuah ladang kubis, seorang laki-laki menatapku. Tulang pipinya tampak keras, sorot matanya tajam, dan peluh meleleh dari leher ke dadanya yang telanjang.
Kulitnya gelap, sangat kontras dengan bilah sabit yang memantulkan cahaya perak. Dan ketika ia mengusap keringat di dahi, otakku semakin bekerja keras. Rasa-rasanya aku pernah mengenal wajah itu. Entah kapan, entah di mana.
“Ada apa, Ren?”
“Lelaki itu,” aku menunjuk dengan ujung dagu. “Aku seperti pernah mengenalnya.”
“Siapa?”
“Itulah yang sedang kupikirkan.”
“Tanyakan saja kepadanya.”
Aku ragu-ragu.
“Kalau kamu pernah mengenalnya, kemungkinan besar dia pun mengenalmu. Lihat, dia juga memperhatikan ke sini.”
Ya, aku membatin. Tetapi tetap saja ragu-ragu. Kuajak Andri untuk meneruskan perjalanan. Ketika kusempatkan menoleh sebelum menikung ke hutan alam, lelaki itu juga kupergoki sedang menoleh kepadaku! Sedang memperhatikan kepergian kami!
Siapa ya?
Pertanyaan itu terbawa sampai tenda. Sampai tengah malam. Sampai kemudian kami menyadari sama-sama belum terlelap. Kulirik Andri masih menatap langit.
“Belum tidur, An?”
“Belum,” Andri menghela napas.”Ingat Joen terus.”
Hening menyelinap ke dalam tenda.
“Kamu juga belum tidur, Ren?”
“Belum. Aku teringat lelaki di kebun kubis siang tadi.”

Dua hari kemudian kami kembali ke Bandung. Tidak lewat Cileuleuy melainkan lewat Cisurupan sehingga tidak sempat ketemu lelaki itu lagi. Andri sendiri tampak riang. Ia mengatakan begitu tiba di rumah akan langsung ke tempat Joen, minta maaf.
Aku sendiri kembali menekuni kegemaranku membaca. Bayangan lelaki di kebun kubis – yang berkulit hitam, membawa sabit, dan keringat membasahi lehernya – berusaha kulupakan. Rasanya aku sanggup, dan mampu, kalau saja sore tadi tidak ketemu Lisa tanpa sengaja di perpustakaan wilayah.
“Hei, kemana saja kamu, Ren!”
“Aku di rumah. Hanya kadang-kadang saja suka pergi jauh.”
Sobat semasa SMP itu tertawa renyah.
“Ya, kudengar dari beberapa teman kita dulu, sekarang kamu sering keluyuran ke gunung-gunung. Jadi pencinta alam ya?”
“Silahkan kalau kamu mau menyebut begitu.”
“Kemana kamu pergi terakhir ini?”
“Ke Gunung Papandayan. Tapi cuma lima hari di sana.”
Lisa menatap serius. “Papandayan dekat Pengalengan itu?”
“Iya. Kenapa?”
“Lewat Cileuleuy?”
“Tidak. Kami lewat Cisurupan. Tapi pada hari ketiga, kalau tidak salah, sempat turun ke Cileuleuy.”
“Tidak ketemu Tono?”
“Tono?”
“Masak lupa? Itu si Tono, lengkapnya Hartono, saudaraku yang dulu masuk SPMA, sekolah pertanian itu. Kamu kan pernah kukenalkan padanya. Waktu nginep di rumahku sehabis malam perpisahan. Ingat?”
“Hartono?”
“Yang kamu bilang mirip Erick Estrada itu!”
Astaga.
Aku baru ingat sekarang.
Hartono, ya, ya, Lisa pernah memperkenalkan kepadaku. Dan kami pernah beberapa kali ngobrol, terutama bila aku ke sana ketika Lisa sedang keluar. Heran, kenapa aku bisa lupa sama sekali? Padahal kami dulu pernah merasa akrab. Sering bergurau, dan Mas Tono sering kuledek karena dadanya yang bidang. “Segi enam tak beraturan!” ejekku selalu.
“Tono kan sekarang di Cileuleuy. Jadi penyuluh pertanian di sana.”
“Punya kebun kubis?”
Lisa mengangguk. “Kalau lagi libur ya ngurus kebunnya. Jadi sekalian mempraktekkan ilmunya. Hei, kamu sudah ketemu ya?”
Pertanyaan itu membuatku bimbang.
Jadi betul lelaki yang menatapku di Cileuleuy dulu memang pernah mengenalku. Aku hanya tidak mengira dia adalah Hartono, yang diam-diam pernah kukagumi. Karena menghormati keluarga Lisa, yang sudah kuanggap keluarga sendiri, maka aku dulu tidak berani mengharap terlalu jauh.
Kenyataan itu sangat mengejutkan. Dan membuatku gelisah sehingga kuputuskan untuk menyiapkan ransel. Sore itu juga aku mencari Andri.
“Temani aku ke Papandayan, An.”
Andri menatap heran. “Tapi aku sedang tidak gelisah.”
“Aku yang gelisah.”
Andri tambah heran.
“Aku yang sekarang gelisah, An. Karena lelaki yang memperhatikan kita di Cileuleuy dulu, ternyata memang pernah kukenal sebelumnya. Namanya Hartono, saudara sepupu dari teman dekatku waktu SMP. Aku baru mengetahuinya kemarin, dan merasa bersalah karena sudah melupakannya. Aku yakin Tono masih mengenaliku. Waktu itu ia ragu-ragu menegur karena aku sendiri tidak mengacuhkannya.”
“Jadi hanya untuk itu kita ke Papandayan?”
“Kita bisa berangkat malam ini, bukan?”
Kabut belum sepenuhnya memudar katika kami – keesokan harinya – sampai di Desa Cileleuy. Tidak sulit untuk menanyakan nama Hartono, sama mudahnya dengan menemukan Balai Penyuluhan Pertanian, meskipun jawaban yang kuterima sangat mengejutkan.
“Pak Tono sedang ke Jakarta. Menghadiri seminar bersama penyuluh pertanian se Jawa Barat,” kata petugas yang ada.
“Berapa lama, Pak?”
“Kurang lebih dua minggu.”
Aku dan Andri saling berpandangan.
“An,” bisikku. “Bulan depan kamu mau menemani aku ke sini?”
Andri menatapku bagai tak percaya.
Aku sendiri tidak mengerti. Hanya kusadari ada yang berubah dalam diriku. Entah apa, aku belum pernah merasakan sebelumnya. Aku percaya Hartono masih ingat padaku. Itu pula yang membuatku merasa yakin, dan memiliki harapan dapat bertemu dengan Tono pada kunjungan berikutnya.
Harapan?
Astaga. Itulah yang tidak kumiliki selama ini!

Pemenang Harapan I Lomba Mengarang Cerpen Majalah Gadis tahun 1988
Dimuat di Gadis edisi no. 23/September 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar