Kamis, 15 April 2010

Foto Yang Tertinggal di Bangku Taman



Susan tersenyum kepada satpam yang seperti tergesa menunjukkan tempat parkir untuknya. Sebelum opel blazernya memasuki halaman kampus pun Susan sudah merasakan betapa ia begitu dikenali. Lampu sen kirinya belum lagi dinyalakan, tetapi satpam sudah lebih dulu membuka portal. Dan tetap berdiri di sisi portal saat mobil Susan melintas, seperti ingin meyakinkan bahwa kendaraan sudah betul-betul memasuki lapangan parkir.
Satpam itu mungkin berkata, “Selamat siang, Non.”
Tapi dari dalam mobilnya yang tertutup rapat, Susan kurang begitu mendengar. Setelah memarkir sempurna dan tak lupa menghidupkan alarm otomatis, satpam masih berdiri seolah memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Dan untuk itu Susan hanya perlu tersenyum sekali lagi, seolah berkata, Jaga mobil saya baik-baik ya Pak.”
Satpam itu balas tersenyum seolah menjawab. “Jangan kuatir, Non.”
Susan mempercepat langkahnya ke gedung utama.
Ada kerumunan di lantai satu, di depan majalah dinding. Susan mendesah pelan. Diakuinya ia kurang akrab dengan majalah dinding. Dulu ia pernah sekali membaca. Tapi lama kelamaan Susan merasa bahwa seluruh tulisan yang dimuat tertuju pada dirinya. Seperti sengaja diterbitkan untuk menyindir dirinya. Seperti sengaja mempertanyakan eksistensinya sebagai mahasiswa yang aktif di luar kampus, jadi covergirl pada beberapa majalah dan sekali dua kali tampil sebagai pembawa acara pada event-event tertentu.
Mereka selalu menyindir gaya hidupnya yang menurut mereka jauh dari realitas masyarakat kelas bawah. Jauh dari angan-angan masyarakat kebanyakan. Kurang peka terhadap penderitaan rakyat kecil karena selalu tampil mewah, glamour, tiap hari bergaul dengan kalangan selebritis, dan lain-lain, dan lain-lain.
Padahal apa sih urusan mereka?
Apakah mereka pikir semua ini menjelma dalam sekejap? Apakah perlu diceritakan bahwa semua itu perlu waktu untuk merintisnya, perlu pengorbanan dan perjuangan bertahun-tahun? Apa juga perlu diceritakan bahwa mobil itu pemberian Papanya dan ponsel berkamera bukan lagi barang mewah yang bisa dibeli bahkan di kaki lima?
Apakah juga perlu diceritakan bahwa ia sering – dan hampir selalu – memberikan seribu dua ribu untuk pengemis yang muncul di lampu merah, untuk kotak amal yang diacungkan di depan mesjid, atau untuk pengamen kalau kebetulan naik patas AC?
Tidak perlu.
Bukan urusan mereka.
Mustinya mereka juga tidak perlu mencampuri urusannya. Tapi, ah, dimana-mana media memang cuma mengurusi orang lain. Reporter kerjanya cuma mengorek-ngorek keterangan yang tidak penting untuk dibesar-besarkan. Heran juga bahwa koran dan tabloid gosip selalu lebih laris dan laku keras. Dan orang-orang lebih percaya gosip daripada cerita yang sebenarnya.
Biarkan saja. Semua toh akan berlalu begitu saja.
Susan sudah terbiasa menghadapi hal-hal semacam itu. Kerumunan di depan majalah dinding itu pada akhirnya juga akan terbiasa dengan berita-berita semacam itu. Lihatlah, sebagian dari mereka kini melihat ke arahnya. Sebagian sambil berbisik-bisik. Sebagian sambil berbisik sebagian sambil melihat kedatangannya sambil melihat lembaran majalah berganti-ganti.
Hmm, gosip apa lagi yang ditulis redaksi sialan itu.
Susan melintas tanpa merasa perlu menoleh lagi. Langsung menaiki anak tangga ke lantai dua dan meletakkan tas di samping Anggie yang sedang membaca novel.
“Hei, kemana saja kamu?”
Susan menjawab dengan tersenyum. Mengawasi penjuru ruang kuliah yang rasanya jarang didatangi dan merasa meja di depannya tampak lebih berdebu daripada biasanya.
“Biasa, Gie. Kamu kan tahu sendiri.”
“Iya. Sibuk acara pemotretan kan?” Anggie menutup novelnya. “Boleh-boleh saja sibuk pemotretan tiap hari. Tapi fotonya jangan ditinggal-tinggal dong.”
“Foto apa?” Susan urung mengambil tisu.
“Tadi tidak lihat majalah dinding?”
“Untuk apa? Kamu kan tahu dari dulu aku enggak suka baca majalah dinding.”
“Ya, itu sih urusanmu. Tapi fotomu dipajang di sana tuh!”
“Foto yang mana?”
Susan setengah bingung setengah tidak mengerti. Tapi reaksi Anggie yang meniup poni rambutnya sendiri menunjukan ada sesuatu yang ganjil. Diperhatikannya wajah sahabatnya itu lekat-lekat.
“Wah, kamu belum ngerti juga,” akhirnya Anggi menutup novelnya. “Begini saja deh, Susan sayang. Kamu turun lagi ke bawah, ke majalah dinding. Perhatikan baik-baik. Terus balik lagi ke sini. Bagaimana?”
“Awas kalau gerjain aku,” Susan beranjak meninggalkan mejanya. “Titip tasku ya.”
Lalu bergegas menyusuri jalannya tadi. Untungnya jam kuliah sudah mulai sehingga koridor tidak dipenuhi mahasiswa lagi. Di sekitar majalah dinding juga sudah sepi. Hanya ada tiga orang yang spontan melihat ke arahnya sambil berbisik-bisik.
Susan mencoba tidak peduli. Mendekat ke majalah dinding dan tidak perlu memeriksa satu persatu karena matanya langsung tertuju pada foto yang terpampang di sudut kanan atas. Fotonya! Berukuran besar lagi! Ukuran kertas kuarto atau 10 R atau apalah istilahnya. Di situ tampak Susan berdiri mengenakan tank top bunga-bunga warna putih susu. Pusar dan sebagian pinggulnya terlihat dengan jelas. Bawahannya terusan warna oranye sampai batas mata kaki dengan belahan pinggir terbuka sampai pangkal paha sehingga putih kakinya tampak kontras.
Latar belakang foto itu buram sehingga Susan tidak bisa segera memastikan foto itu diambil di mana atau dalam rangka apa. Bayang-bayang gedung di latar belakang tidak memperlihatkan bentuk yang spesifik sehingga semakin sulit dikenali.
Tidak ada tulisan apa-apa yang menyertai foto itu. Cuma keterangan singkat di kanan bawah yang ditulis menggunakan ukuran huruf paling kecil sehingga sulit dibaca dari jarak jauh.

Foto ini kami temukan tercecer di bangku taman 
dekat lapangan upacara.
Bagi yang merasa kehilangan dapat mengambilnya 
di kantor redaksi

Sudah. Cuma itu.
Susan menahan geram dalam dadanya. Dicobanya membuka majalah dinding yang rupanya dikunci itu. Bisa sih dipecahkan – dan Susan sanggup mengganti kerusakannya – tapi kayaknya over acting banget. Arogan, kata orang sekarang. Nanti malah dianggap memamerkan kekayaan, mentang-mentang banyak duit.
Sialan. Susan mengutuk berkali-kali.
Majalah dinding sialan.
Redaksinya pasti juga sialan. Tidak mungkin mereka tidak mengenali itu foto dirinya. Terlalu tidak masuk akal. Kalau memang ada niat mengembalikan, tinggal dititipkan kepada tata usaha atau satpam. Pasti sampai. Ini memang sengaja dipajang untuk menambah sensasi. Ini memang akal-akalan untuk memancing reaksinya.
Betul-betul sialan.
Susan terus menggerutu saat kembali ke ruang kelasnya. Anggie segera menutup novelnya kembali. “Gimana? Sudah lihat?”
Susan mengangguk.
“Jadi itu memang betul fotomu?”
“Kayaknya sih iya.”
“Memang tercecer atau sengaja di….”
“Itu memang fotoku, tapi aku enggak merasa kehilangan. Enggak merasa sengaja ninggalin. Foto di mana, kapan, terus siapa yang motret aku juga enggak tahu.”
“Paparazzi, kali.”
“Emangnya aku Madonna pake dikejar-kejar paparazzi segala!”
Anggie tertawa ngakak.
Susan merapikan tasnya. “Ya sudah, kuurus dulu tuh redaksi kurang kerjaan. Kamu tahu yang mana ruangannya, Gie?”
“Kayaknya di lantai empat. Dekat toilet.”
“Memang di lantai empat ada toilet?”
“Ya ada. Di sebelah redaksi majalah dinding!”
“Sialan.”
Tapi apa yang dikatakan Anggie memang benar. Di lantai empat, di lantai paling atas itu ada papan petunjuk toilet. Susan mengikuti dan menemukan toiletnya persis di ujung lorong. Sepanjang lorong cuma ada ruang-ruang kosong berisi meja kursi jungkir balik dan tumpukan kertas-kertas. Heran juga kalau ada yang mau repot-repot kencing di situ. Jangan-jangan kencingnya malah di atas tumpukan kertas. Soalnya ada bau pesing sedikit-sedikit.
Toiletnya malah tidak begitu bau. Mungkin karena memang tidak pernah dipakai.
Persis di sebelahnya ada pintu seperempat terbuka bertuliskan REDAKSI MAJALAH DINDING yang disablon langsung. Ada suara orang mengetik di dalam. Susan belum sempat mengetuk saat pintunya terbuka sendiri. Seseorang muncul dari dalam dengan membawa setumpuk kertas. Kagetnya tidak bisa disembunyikan sehingga kertas-kertasnya hampir terjatuh.
Kepalanya setengah botak. Umurnya setengah tua.
Jangan-jangan ini redaksinya, pikir Susan dalam hati.
“Cari siapa?”
Susan setengah kaget karena suaranya agak feminin.
“Hmmm…. Saya mau ketemu redaksi…”
“Sudah janji?”
Sialan, maki Susan lagi. Mau ketemu redaksi majalah dinding saja harus pakai janji? Memangnya siapa dia? Gus Dur?
“Hmmm…. saya cuma mau mengambil foto saya….”
Laki-laki setengah tua setengah botak itu mengamati Susan dari ujung kaki sampai ujung dahi – sesuatu yang membuat Susan risih dan keki – kemudian tersenyum-senyum sendiri. “Saya juga sudah lihat foto itu,” katanya nakal. Kamudian suara merdunya berkumandang, “Maaaaaal!.... Jamal! Yang punya foto nyariin nih!....”
Samar-samar terdengar jawaban dari dalam. Antara iya dan tunggu sebentar.
“Masuk saja, Mbak,” kata laki-laki setengah tua setengah botak itu membuka pintu lebih lebar lagi. “Jamalnya lagi ngetik. Tunggu saja di dalam.”
Susan ragu-ragu.
Di dalam, Susan tambah ragu-ragu lagi. Memang ada seperangkat meja kursi rotan yang lebih tepat disebut barang rongsokan karena sudah tidak rapi lagi, tapi apakah betul itu ruang tunggunya?
“Duduk saja. Kenapa? Kotor ya?”
Susan menoleh ke arah asal suara. Seorang lelaki – mungkin yang tadi dipanggil sebagai siapa? Jamal? – muncul dari ruang lain. Lalu mengambil kemoceng yang tergantung di dinding. Dibersihkannya permukaan kursi rotan dengan hati-hati.
“Sori, banyak debunya. Maklum jarang ada tamu.”
Susan mengambil tisu dari dompetnya untuk menutupi hidung.
“Mudah-mudahan tidak banyak kumannya.”
Susan merasa disindir. Ditahankannya rasa marah yang mendidih dalam batinnya. Ditunggunya sampai tidak terlihat lagi debu yang melayang-layang dalam ruangan, sampai akhirnya berkata pelan, “Saya cuma mau mengambil foto itu.”
“Bisa,” Jamal tersenyum. “Duduklah dulu.”
Susan menggeleng. “Saya tidak punya banyak waktu.”
“Ada acara pemotretan?”
“Tidak. Tapi ada jam kuliah sebentar lagi.”
“Saya akan suruh orang untuk mencopot foto itu,” Jamal berusaha ramah. “Sementara itu duduklah dulu.”
“Saya tidak punya banyak waktu untuk menunggu,” suara Susan meninggi. “Kita sama-sama turun ke bawah, copot foto itu, selesai.”
“Tidakkah ada waktu sebentar saja untuk omong-omong?”
“Tidak.”
Jamal tertawa pelan.
“Itulah yang kadang tidak saya mengerti. Susan, kamu public figure di sini. Di kampus ini. Berita dan fotomu muncul di mana-mana. Di majalah. Di tabloid. Sementara untuk majalah dinding kampusmu sendiri kamu begitu susah ditemui.”
“Jadi ini bagian dari wawancara?”
“Apa salahnya?”
“Saya hanya bersedia diwawancarai kalau sedang ada kegiatan yang berhubungan dengan profesi saya. Bukan di kampus, dan bukan di rumah. Di kampus ini saya cuma mahasiswa biasa. Di rumah saya hanya seorang anak biasa. Tidak ada bedanya. Tidak ada yang istimewa….”
Jamal duduk. Susan masih tetap berdiri.
“Susan, bagaimana mungkin kamu masih bisa mengatakan tidak istimewa? Kamu sudah jadi selebriti. Sudah jadi public figure. Sudah bisa mandiri sementara yang lain masih bergantung dari orangtua masing-masing. Bagi kami kamu itu istimewa. Itulah yang ingin kami munculkan di majalah dinding.”
“Tapi kalian sendiri yang bilang saya mewah dan tidak peka pada penderitaan rakyat kecil.”
“Ooooh… itu kan pendapat redaksi sebelumnya. Kami beda kok. Kami punya visi dan misi yang tebih terbuka. Yang lebih bisa menerima kenyataan semacam itu.”
Susan tersenyum sinis.
“Kami justru ingin memperlihatkan sisi positifnya. Siapa tahu kisahmu bisa memotivasi teman-teman lainnya. Dengan begitu mereka akan tahu bahwa anggapan selama ini salah.”
“Tidak perlu. Mereka akan tahu dengan sendirinya.”
Come on, Susan. Cobalah untuk mengerti maksud kami.”
“Saya mengerti. Jadi kapan bisa kita ambil fotonya?”
Jamal terdiam.
Mati kutu dia. Sepertinya bingung mau ngomong apa. Dalam pandangan Susan, laki-laki itu tak ubahnya seperti reporter yang mengejar-ngejarnya, menyanjung-nyanjungnya, tapi ujung-ujungnya minta uang untuk ongkos naik taksi.
Kalau mau wawancara, kenapa tidak datang saat ada acara?
Kalau Susan tahu ada reporter dari kampusnya sendiri, bukan tidak mungkin Susan justru memberikan tempat dan waktu khusus. Tapi itulah. Selama ini mereka lebih senang meliput demo-demo anti kebijakan pemerintah yang katanya lebih menyuarakan kepentingan rakyat bawah. Selama ini mereka lebih sering mengkritik tanpa meminta konfirmasi lebih dulu. Dan yang lebih parah lagi, mereka lebih suka mengutip berita tentangnya dari majalah atau tabloid tanpa menanyakan lebih dulu kebenarannya.
Jadi siapa yang salah?
“Jadi, bagaimana?”
Jamal menyodorkan kertas yang dibawanya. “Ini ada beberapa pertanyaan tertulis yang sudah kami siapkan. Bagaimana kalau diisi dulu, baru kita sama-sama ke bawah mengambil fotomu?”
Susan membaca sekilah dan melihat isinya tidak lebih dari kolom-kolom biodata. “Saya tak punya waktu untuk mengisinya. Lagipula di majalah juga sudah sering dimuat.”
“Kami ingin mendapat langsung dari sumbernya.”
“Sekali saya bilang, saya tidak punya waktu. Ayo kita turun sekarang atau saya pecahkan sendiri kacanya!”
“Oke! Oke!...” Jamal mengangkat tangannya. “Oke, kita sama-sama ke bawah. Setelah itu baru wawancara. Bisa?”
Susan mendengus kesal.
Keduanya berjalan beriringan meninggalkan ruang redaksi. Beberapa mahasiswa memperhatikan, tapi sebagian besar tidak peduli. Kerumunan di depan majalah dinding segera membubarkan diri begitu keduanya mendekat. Jamal membuka penutup kaca dan mencopot foto Susan dari tempatnya.
“Darimana kamu dapat foto ini?” tanya Susan.
“Isi dulu wawancara tertulisnya.”
Susan mengambil lembaran yang disodorkan. “Sebutkan dulu dari mana?”
“Ketemu di bangku taman.”
“Tidak mungkin,” Susan menggeleng. “Saya tidak pernah duduk-duduk di taman dan tidak pernah melewati taman.”
“Mungkin terjatuh dan terbawa angin sampai taman.”
“Omong kosong!”
“Atau ada yang sengaja meninggalkannya di taman.”
Susan menyobek lembar wawancara itu menjadi enambelas bagian. Kemudian menyebarkan sobekannya di sepanjang lorong. Diliriknya Jamal yang putus asa dan kembali menaiki tangga menuju ke kantornya.
Persetan, kata Susan dalam hati. Memangnya siapa dia? Ngatur-ngatur orang seenaknya. Kalau mau wawancara ya wawancara saja. Tidak usah pakai menempel foto segala. Itu kan namanya memancing sensasi. Memancing omongan-omongan yang tidak enak. Seperti anak kecil saja…
Susan memandang fotonya dengan rasa lega.
Tiga lantai di atasnya, Jamal juga tersenyum lega sambil menyandarkan badannya di atas kursi putar yang sudah tidak simetris lagi. Kedua kakinya dinaikkan di atas meja. Tangan kanannya menarik laci di dekatnya, mengambil sebuah album foto, membuka satu persatu. Album itu berisi foto-foto Susan dalam berbagai pose dan gaya.
“Susan, Susan…” Jamal mengamati foto close-up ukuran besar yang ditempel pada bagian belakang pintu ruang kerjanya. “Kamu memang pantas untuk marah-marah. Kamu memang pantas untuk sombong. Karena kamu memang pintar, cantik, dan berprestasi. Karena kamu memiliki apa yang tidak dimiliki teman-teman lain. Kupikir-pikir, barangkali itulah sebabnya aku mengagumimu.
Enam bulan sudah kuikuti kegiatanmu. Enam belas rol film sudah kuhabiskan untuk diam-diam memotretmu. Enam album sudah kukumpulkan foto-fotomu. Termasuk satu yang sudah kamu ambil tadi.
Tidak apa-apa.
Tidak apa-apa.
Kamu robek juga tidak apa-apa. Masih ada seratus dua puluh enam foto lagi yang akan memaksamu datang ke tempatku….”

Bandung, Februari 1989


1 komentar: