Cerpen itu dimuat!
Bagi Tedi tidak ada yang lebih menggembirakan selain itu. Lebih setahun ia menunggu, dan kini segala kekesalan selama menunggu terlupakan.
Cerpennya dimuat.
Betapa senangnya – karena itu berarti Tedi bisa ke rumah Riri sore ini juga. Ke rumah gadis yang sejak dulu dikaguminya sambil menunjukkan bahwa ia pun bisa. Bisa seperti Wahyu Prahasto, pengarang yang cerpen-cerpennya sering muncul di Majalah Kencana – majalah remaja dengan omzet paling besar se Jawa Barat. Nama Wahyu Prahasto itu pula yang sering disebut-sebut Riri.
“Ted,” kata Riri hampir dua tahun lalu. “Kamu tahu enggak?”
“Apa?”
“Riri kaguuum deh sama Prahasto.”
“Cerpenis di Kencana itu?”
Riri mengangguk.
“Karena cerita-ceritanya bagus?”
“Bukan hanya bagus, tapi juga menyentuh. Kalimat-kalimatnya manis.Enak dibaca. Isinya berbobot. Pesan-pesannya disampaikan secara halus. Kadang-kadang Riri seperti sedang membaca pengalaman Riri sendiri.”
“Kalau begitu surati saja.”
“Sudah.”
“Dibales?”
“Sudah juga. Tapi Riri ingin suatu saat nanti Pras datang ke rumah. Mengajak ngobrol. Terus jadi teman dekat. Terus….”
“Jadi pacarmu?” potong Tedi.
Riri mengikik. “Tapi kira-kira Pras mau enggak ya?”
Tedi menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa Riri terlalu terbuai khayalannya sendiri. Terlalu membayangkan segala yang serba indah-indah. Repot, gumam Tedi. Repot jika gadis remaja terlalu banyak membaca cerpen. Karena cerpen sering menampilkan tokoh yang serba memenuhi syarat. Cakep, pinter, punya kelebihan, sebagian besar orang kaya, dan ceritanya selalu happy ending.
Repot, karena Tedi tidak bisa berkutik. Padahal ia mengagumi Riri, dan selalu kangen pada kehadiran gadis itu. Perasaan yang tidak pernah tersampaikan karena Riri lebih suka membicarakan pengarang idolanya. Setiap kali Tedi mendekat, yang diomongkan Wahyu Prahasto melulu.
“Eh, Ted, sudah baca belum cerpen Pras yang terbaru?”
Tedi mendengus. “Yang lama juga belum.”
“Waaa, payah kamu. Ceritanya bagus deh, Ted. Tentang cewek cakep yang dapet hadiah mobil baru, terus tabrakan, eh yang nabrak ternyata….”
“Cowok cakep juga?”
“Kok kamu tahu sih?”
“Dari dulu juga ceritanya begitu. Cewek cakep, cowok cakep, mobil baru, anak orang kaya, sekolah di luar negeri, jajan di kafetaria hotel, taksi, nonton….”
“Tapi inti ceritanya kan bagus.”
Tedi mengeluh dalam hati.
“Jadi Pras enak ya, Ted?”
“Iya, saya juga kagum.”
“Kagum sama Wahyu Prahasto?”
“Bukan, sama kamu.”
Riri tertawa. “Sayang Riri enggak kagum sama kamu. Habis kamu enggak ada yang bisa dibanggakan. Wajah biasa-biasa saja. Prestasi sekolah hampir tidak ada. Bikin cerpen juga tidak bisa.”
“Bisa.”
“Bisa?”
“Bisa saja,” Tedi merasa panas. “Apa susahnya sih? Tinggal berkhayal, tinggal melamun. Terus diketik. Beres.”
Riri menggeleng. “Tidak semudah itu, Ted. Dalam salah satu suratnya Pras bilang bahwa bikin cerpen itu perlu penghayatan. Perlu pengalaman. Tidak asal jadi.”
“Tapi saya yakin pasti bisa.”
“Kalau begitu coba saja bikin.”
“Kalau nanti cerpen saya dimuat?”
Riri tersenyum manis. “Riri akan kagum sama kamu.”
Janji itulah yang menyemangati Tedi untuk menyelesaikan ceritanya. Empat hari berturut-turut menghabiskan waktu di dalam kamar, melupakan film seri, dan tak-tik tak-tik mesin tiknya menggema sampai jauh malam.
Cerpen itu akhirnya selesai. Menggunakan nama Riri sebagai judul. Isinya, apa lagi kalau bukan tentang perasaan sayang Tedi kepada gadis itu?
Segera setelah mengirim cerpen itu ke Majalah Kencana, Tedi menemui Riri.
“Sudah, Ri.”
“Apanya yang sudah?”
“Cerpen itu sudah kuselesaikan,” kata Tedi bersemangat. “Tadi pagi sudah kukirimkan. Paling lambat dua atau tiga bulan lagi pasti sudah dimuat.”
“Oya?”
“Ya. Nanti kalau sudah dimuat kamu pasti kuberi tahu.”
Riri mengangguk gembira.
Tapi celaka, sampai berbulan-bulan kemudian cerpen itu tidak dimuat juga. Yang dimuat justru cerpen-cerpen yang lain – termasuk cerpen Wahyu Prahasto. Tidak juga dikembalikan padahal sudah disisipi perangko, sehingga selama berbulan-bulan berikutnya Tedi seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti.
“Padahal cerpenku menarik….” gumam Tedi lirih.
Sekarang cerpen itu dimuat!
Bisa dibayangkan betapa gembiranya Tedi. Ia sudah melupakan, bahkan sudah merasa tidak punya harapan. Apalagi cerpen-cerpen berikutnya yang dikirimkan diam-diam juga bernasib sama. Tentu saja kenyataan itu membuatnya tersenyum lebar.
Tedi akan ke rumah Riri sore ini. Menunjukkan cerpen itu sambil mengobati rindunya. Selama ini ia tidak berani ketemu Riri. Sebab setiap ketemu, Riri selalu menanyakan kabar cerpennya. Jika selama ini Tedi tidak bisa menjawab apa-apa, sore ini lain kenyataannya.
Riri akan kagum kepadanya.
Besok, Riri mungkin sudah jadi miliknya.
Dan sore ini Tedi melangkah melintasi halaman rumah Riri dengan dada gemuruh. Apalagi Riri menyambutnya di teras – nyaris berteriak penuh antusias.
“Aduuuh, Tedi!...” serunya. “Baru saja Riri ngomongin kamu, eh orangnya sudah muncul!”
“Oya?”
“Ayo masuk,” Riri menarik tangan Tedi. “Kenalan dulu sama teman Riri. Kamu pasti tidak menyangka.”
Di ruang dalam sudah ada seseorang yang berdiri, mengulurkan tangan, dan menjabat genggaman Tedi erat-erat.
“Saya sudah baca cerpen Anda yang dimuat dalam Kencana paling baru. Riri lantas cerita bahwa cerpen itu dibuat khusus untuknya. Katanya yang membuat bernama Tedi, teman sekolah yang juga ingin menjadi pengarang. Saya sering ke sini, tapi baru sekarang ini bisa bertemu Anda. Oya, sampai lupa, nama saya Wahyu Prahasto!”
Percikan Majalah Gadis no.31 – Desember 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar