Kamis, 15 April 2010

Jantan


Lorong kelas berubah jadi pasar.
Pasar dalam arti kiasan karena sesungguhnya tak ada praktek jual beli di situ. Yang ada hanya kerumuman anak-anak dekat pintu kelas satu. Ribut. Sangat ribut.
Di dalam kelas, Wiyanti terguguk. Didampingi dua rekan dan sang ketua kelas yang duduk di kursi guru.
Hani memang pantas dikagumi sebagai ketua kelas teladan. Terbukti dengan kemampuan kelasnya meraih juara kebersihan selama lima bulan terakhir ini. Kini, dalam keadaan terjepit, masih bisa mengatur napas dengan mondar-mandir dekat papan tulis.
Kerumunan tetap merubung. Bahkan bertambah ramai karena banyak yang datang menggabungkan diri. Beberapa yang tahu persis persoalannya menjadi tumpuan tempat bertanya. Dan wajar kalau cerita lantas dibesar-besarkan. Alur jadi kacau. Kebenaran berita tak bisa dipertanggungjawabkan lagi.
“Itu dia datang!”
Semua menoleh. Semua menyongsong dengan gerak serempak. Satrio, seperti biasa, mengamati kejanggalan dengan sebelah mata. Langkahnya tak menjadi lebih cepat ataupun terhenti.
“Ada apa ini?”
Ketenangan yang khas. Dijawab oleh ketergesaan yang tidak lucu.
“Cewekmu, Sat! Cewekmu!”
“Ada apa dengan Wiyanti?”
“Kamu lihat saja sendiri. Di dalam sana.”
Tanpa diminta kerumunan menyibak. Memberi jalan.
Satrio membuka pintu.
Hani yang pertama kali kaget. Gerakannya gesit, menutup pintu kembali. Kepala-kepala yang tadi melongok kini meneriakkan huuu.
“Ada apa, Han?”
Satrio sudah lebih dulu beranjak ke tengah, mendekati Wiyanti yang terisak dan memegang bahunya.
“Kenapa menangis, Yan?”
Yang dipanggil mendongak. Tapi tidak menjawab apa-apa. Satrio merasakan bahu gadisnya berguncang. Jarinya ikut basah kena air mata. Dadanya ikut naik turun. Terdengar keluhan panjang.
Hani mengambil inisiatif. Dibawanya Satrio menjauh. Mengajak ke meja terdepan. Menyuruh duduk, dan berusaha tenang agar tidak terjadi kesalahpahaman.
“Santai saja, Sat.”
Satrio tetap melihat ke tengah. Kalimatnya datar. “Ada apa sebenarnya?”
Hani ragu-ragu. Kepalannya mengendor mengencang.
“Ada apa sebenarnya, Hani?”
“Anu, janji, kamu tak akan emosi ya?”
“Aku tak pernah emosi. Katakan saja.”
“E... Sardi. Kamu pasti kenal Sardi Suwardi, teman sekelasmu juga. Waktu istirahat tadi Sardi meledek Wiyanti sebagai pereks. Tahu artinya pereks? Yah, semacam cewek nakal, begitulah. Jadi....”
“Setan!”
Hani cepat mencekal lengan. “Sat, dengarkan dulu! Sulit untuk menentukan apakah Sardi sungguhan atau bercanda. Yang jelas Wiyanti tersinggung. Langsung menangis. Kamu lihat sendiri anak-anak jadi ribut.”
Satrio berdiri. “Aku juga bisa ribut.”
“Tunggu, kamu mau kemana?”
Hani memburu ke pintu. “Jangan gegabah, Sat!”
Satrio menepis. “Aku tidak gegabah, Han. Tapi Sardi sudah keterlaluan. Biar aku cari anak itu.”
“Jangan!”
“Apa urusanmu?”
Hani melenguh panjang.
“Satrio!”
Itu suara Wiyanti. Tidak merdu karena diucapkan masih dalam suasana menangis. Tapi cukup ampuh untuk memaksa dua lelaki yang berdebat itu menoleh.
Satrio menghampiri. Memandang gadisnya tanpa berkedip.
“Aku tidak apa-apa, Sat.”
“Tapi aku apa-apa.”
“Jangan memancing keributan.”
“Aku tidak memancing! Sardi sendiri yang mengeruhkan empang ini dengan racun serangga!”
“Satrio!”
Tak ada yang berani menghalangi waktu Satrio membuka pintu. Kerumunan menyibak, bergerak mengikuti bagaikan suporter Liverpool. Lorong dipenuhi barisan.
“Jangan ikuti aku!” suara Satrio menggelegar.
Semua mundur. Tapi segera mengekor lagi.
Bagaimanapun juga semua mengenal Satrio. Ketua seksi keamanan OSIS sekaligus pemegang sabuk biru dalam karate sekolah. Tidak pernah unjuk kekuatan, tapi tidak segan mengangkat kerah baju siapa saja yang mengacaukan kegiatan OSIS. Pernah menangkap basah maling jemuran di asrama. Tapi juga pernah tertangkap basah memimpin protes penurunan uang asrama.
Semua juga kenal siapa Sardi. Anak paling badung satu sekolahan. Dengan rambut dipanjangkan di bagian belakang dan baju kepanjangan yang tak pernah dimasukkan – kecuali kalau ditegur guru – lengkaplah penampilan Sardi sebagai murid bengal yang baik. Baik dalam artian simbolis: ribut dalam kelas, memancing kemarahan anak kampung, menyontek, menggoda gadis-gadis secara keterlaluan, atau berkelahi hanya karena masalah sepele.
Entah sudah berapa kali Sardi dipanggil ke ruang guru. Dan entah sudah berapa kali mengulangi kesalahan yang sama.
Pertemuan dua jagoan, walau dalam bidang berbeda, tentu bakal menarik. Itulah yang dinantikan anak-anak.
Satrio tegak di ambang kelasnya sendiri. Anak-anak mengintip dari balik tiang-tiang. Terdengar pintu dibuka keras. Di dalam, Sardi menunjukkan sikap tak acuh. Tetap ngobrol dengan tiga gerombolannya. Satrio mendekat, dan sadar bahwa jendela sudah dipenuhi penonton.
“Sardi Suwardi!” Satrio mengeja lengkap. Tenang. Berdiri dalam sikap sempurna, dua tangan siap dekat pinggang. Seolah hendak mencabut dua pistol sekaligus. Sorot matanya tajam.
Sardi menurunkan sebelah kaki. “Ada apa?”
“Kamu bilang apa tadi, sama Wiyanti?”
“Tidak bilang apa-apa.”
“Kamu bilang apa tadi?”
Ah, suasana mulai tegang.
“Aku cuma main-main.”
“Aku tidak main-main. Dan kata-katamu tadi sama sekali tidak lucu. Semua wanita pasti tersinggung mendengarnya.”
“Apa maumu sekarang?”
“Minta maaflah pada Wiyanti.”
“Enak saja!” suara Sardi mencemooh. Sekarang dia turun dari kursi. Berdiri tidak kalah gagah.
“Atau aku akan memaksamu.”
“Kamu menantang aku!”
“Ya!”
Suara keduanya sama menggelegar.
Penonton liar makin banyak. Yang ditonton makin mendekat. Semua bisa menyaksikan empat tangan mengepal. Empat mata saling menatap. Dan empat kaki menjejak kuat. Bisik-bisik komentar terdengar lirih.
“Sardi enggak akan menang.”
“Belum tentu.”
“Aku yakin Satrio bakal menggebrak dengan sekali hantam.”
“Belum tentu.”
Suara lain menengahi. “Sudah, diam dulu. Kita lihat saja bubarannya.”
“Tentu.”
Ronde tunggal sebentar lagi dimulai.
“Di sini?” Sardi menunjuk ubin.
“Apa gunanya berkelahi di sini? Baru mulai sudah ada yang memisah. Kita ke belakang sekolah. Di sana lebih tenang. Dan lebih leluasa menyelesaikan persoalan.”
Satrio keluar lebih dulu. Diikuti Sardi.
Anak-anak lari dari pintu yang terbuka. Satrio menatap berkeliling lewat sorotan galak. Semua bersembunyi di balik tiang. Waktu kedua jagoan melintasi lapangan, kerumunan seperti enggan bubar. Satrio menggerakkan tangan. Kalimatnya mengguntur.
“Jangan ikuti kami!”
Alhasil tak ada lagi yang berani maju.
Keduanya hilang di balik lab biologi.
Anak-anak menunggu dengan sabar. Sambil berbisik-bisik. Sambil mengunggulkan masing-masing jagoannya. Semua hanya mempunyai satu harapan: salah satu akan tampil sebagai pemenang. Tapi sampai setengah jam kemudian, waktu berlalu tanpa ciri khas suatu pertarungan. Tak ada suara bak-buk. Tak ada yang mengaduh. Pun tidak terasa getaran tanah.
Tak seorangpun berani mengintip.
Makin siang udara makin panas.
Yang muncul lebih dulu adalah Satrio. Disusul Sardi. Keduanya saling merangkul. Tak ada darah di bibir. Tak ada memar di pelipis. Tak terlihat kotor menempel pada baju.
Sebagian besar anak-anak tercengang. Tapi beberapa malah mengeluh. Menyesalkan pertarungan yang tidak lucu. Pertarungan yang tidak seru.
Sardi lebih banyak menunduk. Dan penonton mulai bertanya-tanya. Hanya Satrio yang tidak merubah cara berjalan. Pintu kelas dibukanya perlahan. Sardi diajak mendekati Wiyanti yang termangu.
“Nah, minta maaflah pada Wiyanti.”
Ragu-ragu Sardi mengulurkan tangan. “Sori, aku tadi cuma main-main. Lain kali akan hati-hati kalau ngomong.”
Wiyanti mengangguk.
Yang kemudian terdengar adalah suara Satrio. Mengguntur. Menyuruh penonton bubar. “Sudah! Sudah! Kembali ke kelas masing-masing!”
Semua memisahkan diri. Kerumunan pun bubar. Saat itupun segera tahu siapa yang sesungguhnya bersikap jantan. Walaupun tidak ada yang jadi pemenang. Walaupun juga tidak ada yang kalah.
Barangkali satu-satunya yang melegakan, setidaknya memberi pengertian baru, adalah kenyataan bahwa tidak semua kejantanan harus ditunjukkan lewat kekerasan. Ada cara yang lebih baik. Lebih ramah.

Hai no.37/X tanggal 16-22 September 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar