Kamis, 15 April 2010

Frans




Aku hanya tahu namanya Frans.
Frans siapa aku tidak tahu. Jangankan nama lengkapnya, ketemu orangnya pun belum pernah. Aku hanya sering membaca nama itu di bagian belakang surat-surat untuk Mas Don. Pacarku itu selalu menggunakan alamat sekolah. Dan selalu aku yang tanpa sengaja mengambilkan surat-suratnya dari jendela tata usaha.
Tulisan tangannya halus.
Aku jadi membayangkan Frans bertubuh tinggi agak kurus, lembut, kulitnya bersih, dan sangat memperhatikan penampilannya. Mungkin juga rupawan – bisa kutebak dari caranya menuliskan alamat yang tampak hati-hati.
“Frans itu siapa, Mas?” tanyaku sewaktu menyadari frans sering berkirim surat.
“Teman.”
“Teman SMP?”
“Bukan,” Mas Don menggeleng. “Kami berkenalan waktu kemping di Gunung Salak. Sekitar setengah tahun yang lalu. Terus jadi surat-suratan sampai sekarang.”
“Anak mana sih?”
“Anak Jakarta.”
“SMA juga?”
“Iya.”
“Cakep?”
Mas Don tersenyum. “Biasa-biasa saja.”
“Bohong!” aku berusaha memancingnya. “Orangnya pasti ganteng. Pasti gagah. Namanya saja Frans. Anak Jakarta lagi. Kalau biasa-biasa saja, kok nggak pernah dikenalin sama Rum?”
“Memang dia belum ke Bogor lagi.”
“Bilang saja takut Rum naksir dia. Iya kan?”
Mas Don tertawa.
Aku tahu itu adalah kelemahannya. Ia selalu merasa dirinya tidak cakep, sehingga enggan mengajakku ketemu teman-temannya. Padahal aku sayang padanya, cukup setia, dan selama hampir dua tahun masa pacaran kami, belum pernah aku melirik cowok lain.
“Teman-temanku cakep-cakep, Rum. Ganteng-ganteng. Rata-rata anak orang kaya,” selalu begitu alasannya.
“Mas nggak percaya sama Rum ya?”
“Aku percaya sama kamu, tapi tidak percaya sama teman-temanku. Mereka itu buaya semua!”
(Rupanya teman-teman Mas Don termasuk tipe cowok mata keranjang. Mas Don takut mereka naksir aku, dan takut aku tergoda rayuan mereka.)
“Frans buaya juga?”
“Bukan. Dia burung merak.”
“Wah. Cowok dandy ya?”
Mas Don tidak menjawab.
“Kapan-kapan kenalin dong sama Rum.”
Pacarku menggeleng.
“Mas takut Rum naksir Frans, atau Frans-nya yang naksir Rum?”
“Frans tidak akan naksir kamu.”
“Homo ya?”
“Hush!”
“Habis,” sungutku jengkel. “Kenalan sama teman buaya tidak dikasih. Sama burung merak juga tidak boleh. Apa Rum memang dilarang kenal sama teman-teman Mas?”
“Boleh saja.”
“Kapan?”
“Ya nanti kalau kebetulan ketemu.”
“Kita suruh saja datang ke sini.”
“Enak saja.”
“Atau kita yang ke sana?”
“Ke mana?”
“Ke tempat Frans.”
“Kamu kok ngotot sekali ingin ketemu Frans sih?”
“Habis namanya bagus. Kayak nama orang barat. Pingin tahu cakepnya kayak apa.”
Kulihat Mas Don gelisah.
Aku tidak punya prasangka apa-apa. Hanya merasa aneh karena tidak biasanya Mas Don begitu. Kalau aku ingin kenal Frans, itu disebabkan rasa penasaran saja. Karena setahuku cuma Frans yang rajin berkirim surat. Mungkin juga cuma kepada Frans pacarku rajin membalasnya. Aneh. Biasanya aku juga tidak begitu peduli kepada sahabat-sahabat pena yang menyurati Mas Don. Kecuali yang satu ini.
Seperti biasa aku segera melupakan persoalan itu. Sampai siang ini – dua bulan setelah percakapan tentang Frans – aku datang ke rumah Mas Don. Sudah seminggu terakhir ini kami libur semesteran. Kemarin ia sudah menyanggupi akan menemaniku ke Internusa. Mau cari buku baru untuk menambah koleksi.
Aku yang menjemput Mas Don. Alasannya sederhana, dari depan rumahnya bisa langsung mencegat kendaraan yang melewati Internusa. Ternyata pacarku belum mandi. Jadi aku harus menunggu di ruang tengah. Ketika itulah ingatan tentang Frans melintas lagi.
Kalau seluruh SMA – secara nasional – libur semester, bukankah berarti Frans juga libur? Bukankah ini kesempatan menangih janji Mas Don untuk memperkenalkan Frans padaku?
Tiba-tiba sebuah jeep berhenti di depan rumah.
Pengemudinya – sekaligus satu-satunya penumpang – turun. Terdengar suara pintu ditutup dengan lembut. Dan orang itu berjalan ke arahku dengan langkah hati-hati – seperti sedang melewati pematang sawah.
Celana panjangnya jeans yang birunya masih terang. Kaos oblongnya sangat menyolok mata. Dan rambutnya yang dipotong pendek jadi semakin tambah pendek karena tertutup topi dan kacamata hitam.
Astaga, Frans-kah itu?
Si burung merak yang dandy-kah itu?
Aku terkejut melihat penampilannya yang sembilan puluh persen feminin. Setelah dekat, aku menjadi semakin terkejut lagi. Karena orang itu memang seratus persen wanita!
Ia melepas kacamatanya.
Dan harus kuakui ia lebih cantik daripada aku, terutama setelah tersenyum lembut.
“Apa betul di sini rumah Handono?” tanyanya.
“Siapa?”
“Mas Handono. Biasa dipanggil Mas Don.”
Tanpa sadar aku mengangguk.
“Ada orangnya?”
“Ada di dalam.”
“Bisa tolong memberitahukan padanya bahwa Frans datang?”
Aku terbeliak.
“Sebetulnya nama saya Fransiska. Tapi Mas Don lebih senang memanggil Frans saja. Jadi nama itulah yang sekarang sering saya pakai. Anda adiknya ya?”
Rasanya aku ingin menjerit saat itu juga. Tapi dunia sudah lebih dulu berputar-putar di depan mataku.

Percikan Majalah Gadis no.27 – Oktober 1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar