Senin, 12 April 2010

Kasmaran




Keduanya saling berpandangan. Saling tersenyum.
Dan seperti layaknya pasangan yang sedang berpacaran, mereka selalu lupa – selalu saja lupa dan selalu pura-pura lupa – sedang berada di tempat umum. Dunia sudah menjadi milik mereka. Dan itu seperti tidak bisa diganggu gugat lagi.
Udara di luar kafe masih panas.
Keduanya masih saling tersenyum.
“Bagaimana?” terdengar suara Jay.
“Apanya?”
Keduanya tertawa lagi. Kalimat apanya yang diucapkan Els terdengar begitu mesra dan manja. Beberapa pengunjung lain menoleh. Jay merasa risih. Ditekannya telapak tangan Els kuat-kuat.
“Bercanda terus.”
“Apanya, Jay?”
“Mau pulang apa tidak?”
“Masih panas,” Els menarik tangan Jay ke pangkuannya. “Lihat tuh di luar, panas begitu. Tunggu agak sore ya, Jay?”
Jay melihat jam dinding di tembok kafe.
Mengeluh pelan.
“Kenapa, Jay?”
“Sudah dua jam kita di sini.”
“Aaaah, yang lain ada yang sudah duluan di sini.”
“Memang. Yang melarang juga enggak ada. Jam berapa tadi kita ketemu di kantor pos?”
“Jam setengah sepuluh.”
“Setengah sepuluh. Berarti seharian ini kita jalan-jalan terus. Muter-muter terus. Kamu enggak capek, Els?”
“Nggak. Kan jalan-jalannya sama kamu. Tiap hari begini juga mau. Kamu capek, Jay?”
Jay tersenyum. “Nggak. Kan jalan-jalannya sama kamu.”
Keduanya tertawa lagi.
Beberapa orang menoleh lagi.
Di luar, matahari masih terlihat kuning tua. Tentu panas sekali. Tapi adakah artinya panas terik bagi pasangan yang sedang kasmaran?
Tidak ada. Jay menjawab sendiri dalam batinnya.
Selama ini mereka juga sering berpanas-panas di tengah kerumunan pengunjung plaza yang lain, atau saat menunggu bis, atau saat menyeberangi jalan. Dan selalu saja terasa sejuk. Tidak ada bedanya.
Kalau Els menolak diajak pulang, maka panas hanyalah alasan saja. Ia memang belum mau diajak pulang. Karena masih ingin bersama-sama. Masih ingin memanfaatkan pertemuan yang ada.
“Jay?”
“Ya?”
“Besok kuliah?”
Jay mengangguk.
“Berarti kita nggak bisa ketemu ya?”
“Hari sabtu bisa.”
Els mendesah mesra. “Lama lagi dong.”
“Tiga hari kok lama.”
“Satu jam saja rasanya lama, Jay.”
Jay tertawa tanpa suara.
Els mencubit pinggang Jay.
“Kamu ini kayak ngomong sama suamimu saja.”
“Lho, kamu kan suamiku. Ca-lon su-a-mi.”
“Kalau direstui.”
“Direstui siapa?”
“Direstui Pak Menteri.”
Keduanya tertawa lagi.
Beberapa orang menoleh lagi.
“Els?”
“Ya?”
“Kita kok bercanda terus sih?”
“Habis mau serius nggak bisa.”
“Papi nggak pernah tanya-tanya?”
“Nggak.”
“Mami?”
“Nggak juga.”
“Tetangga?”
“Kadang-kadang.”
“Tanya apa mereka?”
Els, kalau mau ke kantor pos kasih tahu ya? Mau titip surat.”
Jay terbaha. Tapi tidak ada yang menoleh.
“Jangan-jangan kamu dikira kerja di kantor pos, Els.”
“Biar. Gara-gara kamu sih.”
Memang, dulu, Jay yang pertama kali mengusulkan kantor pos sebagai tempat pertemuan. “Gampang dicari dan tidak mencurigakan sebagai alasan waktu pamit.” Sejak saat itulah pintu, tiang, dan loket perangko menjadi saksi. Kadang Els datang lebih dulu. Tapi biasanya Jay yang menunggu. Kadang sebentar, kadang lebih dari setengah jam. Kadang memang datang untuk memenuhi janji, kadang sekalian mengeposkan surat. Kalau lama Els tidak muncul-muncul, Jay pura-pura menulis surat di meja yang disediakan di situ untuk mengurangi rasa risih dari tatapan satpam. Barangkali sejak saat itulah satpam pun menjadi saksi.
“Mudah-mudahan satpamnya sudah punya pacar,” Jay pernah berharap begitu.
“Memang kenapa?”
“Orang yang sudah pernah jatuh cinta akan lebih bisa memaklumi kencan kita.”
“Tanyalah, Jay, sama dia.”
“Jangan-jangan malah baru putus.”
Obrolan pembuka biasanya akan lenyap begitu mereka meninggalkan kantor pos, menyeberangi jalan, dan sesaat kemudian sudah bergabung dengan pejalan kaki yang lain, memenuhi sela-sela plaza yang ada.
Mereka keluar-masuk supermarket, walaupun lebih sering melihat-lihat daripada membeli. Lalu – biasanya – ke toko buku, juga lebih banyak membuka-buka daripada membeli. Lalu nonton pertunjukan pukul dua siang kalau kebetulan filmnya bagus. Lalu makan siang atau sekedar minum es. Lalu berpisah.
Biasanya juga sore-sore seperti ini.
“Gimana, Els, pulang sekarang?”
Els mengangguk. Melihat arlojinya, lalu menoleh jam dinding seolah mencocokkan. Setengah enam lewat sepuluh. Keduanya berdiri hampir bersamaan. Kemudian berjalan bersisian meninggalkan kafe.
Matahari masih berwarna merah tua.
Sebagian lampu jalan sudah dinyalakan.
“Hari sabtu kita ketemu lagi?”
Jay mengangguk. “Ditunggu di tempat biasa.”
“Kalau ada perubahan?”
“Mudah-mudahan tidak.”
Ya, mudah-mudahan tidak. Betapa seringnya Jay berharap begitu. Betapa seringnya Els juga berharap begitu. Pertemuan menjadi sangat penting bagi mereka. Saat itulah keduanya bisa saling memandang, saling tersenyum. Adakah yang lebih membahagiakan selain saat-saat seperti itu?
“Kursusnya masih lama, Els?”
“Dua bulan lagi.”
Berarti masih ada waktu dua bulan untuk berjumpa dan membuat perjanjian baru. Seminggu dua kali Els kursus komputer dekat kampus Jay. Saat itulah biasanya mereka rutin ketemu. Bisa Jay yang ke tempat kursus, bisa Els yang ke kampus. Tidak mungkin keduanya tidak bertemu karena mereka sudah hapal jadwal masing-masing, sampai ke menit dan detiknya. Kalau kuliah Jay kosong, dia akan menunggu di tempat kursus. Kalau Els selesai kursus ternyata Jay tidak ada di depan ruangan, berarti ada kuliah, maka Els yang ke kampus.
Rutin, tapi tidak membosankan.
Dan pertemuan di kampus atau di tempat kursus bisa berlanjut ke tempat lain. Kemudian diakhiri dengan janji ketemu di kantor pos besoknya, atau besoknya, atau besoknya lagi.
Tanpa surat, tanpa perantara.
Aman dan menyenangkan.
“Itu bisnya sudah datang.”
Els tampak sedih. Selalu saja sedih setiap kali Jay memberi tahu bahwa bis sudah datang. Karena itu berarti mereka harus berpisah. Els harus pulang, sementara Jay masih harus menunggu bis jurusan lain.
“Duluan ya, Jay.”
Jay mengangguk. Tersenyum lama sampai bis yang ditumpangi Els hilang di tikungan jalan.

Jay memberi bulatan merah pada kalender.
Ia tidak ingin lupa besok ada janji ketemu dengan Els. Kalau sampai lupa bisa berakibat dua hal, harus menunggu seminggu lagi dan membuat Els kecewa. Sejak kursus komputer selesai, tidak ada lagi kesempatan bertemu seminggu empat kali atau lebih.
“Tidak mungkin, Jay. Orang rumah kan tahu saya nggak kursus lagi. Kalau seminggu sekali bolehlah.”
Seminggu sekali, dan itu berarti besok. Hanya hari kamis Jay tidak ada kuliah. Hanya hari itu mereka punya kesempatan bertemu. Semuanya sudah diatur. Tidak perlu janji. Tidak perlu surat. Tidak perlu pengumuman. Pokoknya, kamis pagi ditunggu di tempat biasa.
Dan itu berarti di kantor pos. Tidak pernah tempat lain. Dan tidak pernah terpikirkan dalam benak Jay – ataupun Els – untuk mencari tempat pertemuan yang lain. Kantor pos sudah cukup bagus. Selama ini juga tidak pernah ada masalah.
Ah, betapa ingin Jay membuat surat ucapkan terimakasih kepada Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi. Beliau begitu baik, menyediakan tempat untuk menyalurkan rasa rindu. Sebetulnya Jay juga ingin mengucapkan terimakasih kepada satpam, tapi takut orang itu malah mengetahui apa yang mereka lakukan selama ini di tempatnya.
Tidak usah terimakasih, senyum pun jadilah.
Itulah yang dipersiapkan Jay keesokan harinya. Belum pukul sembilan Jay sudah berdiri di seberang kantor pos. Tempat itu lebih ramai daripada biasanya. Mungkin karena awal bulan. Dengan tergesa Jay menyeberangi jalan. Di dalam kantor pos ternyata yang bertugas bukan satpam yang biasanya. Rencana Jay untuk tersenyum mendadak sirna. Tidak, jangan tersenyum. Kalau satpam – yang lain – itu tahu, berarti makin banyak saksi mata.
Jay duduk di bangku yang ada. Duduk saja. Tidak sambil pura-pura menulis surat. Hanya matanya yang melihat berkeliling, berusaha menemukan satpam yang biasanya.
Sial, tidak ada.
“Sayang sekali,” keluh Jay lirih. “Mustinya dia memperoleh senyuman hari ini.”
Setengah sepuluh lewat lima menit Els muncul di pintu masuk. Wajahnya agak berkeringat. Els tidak segera masuk ke dalam. Jay tahu maksudnya.
Ia berdiri. Berjalan ke luar dan langsung diikuti Els. Keduanya menyeberangi jalan. Jay menggandeng tangan Els. Saat itulah Jay sadar Els menyelipkan selembar kertas ke dalam telapak tangannya.
“Apa ini?”
“Kita tidak bisa ketemu hari ini, Jay.”
“Kenapa?”
“Kita jalan saja terus sampai ujung sana. Lalu berpisah. Saya langsung pulang.”
Jay ingin mengulangi pertanyaannya, tapi urung. Jawabannya pasti ada di dalam surat itu. Segera setelah Els menaiki bis pertama yang muncul, Jay membuka surat tadi.

Wibi datang. Minggu ini di Bandung.

Cuma itu, tapi Jay mengerti.
Wibi datang. Wibisono – pacar Els yang selama ini kuliah di Jakarta – datang. Mungkin sedang liburan. Mungkin dalam rangka penelitian. Mungkin sekedar cari celana jeans atau sepatu.
Apapun alasannya bagi jay sama saja. Karena itu berarti ia tidak bisa – tidak boleh – bertemu Els. Setidaknya sampai Wibi kembali ke Jakarta.
Jay merobek surat itu menjadi enambelas bagian.
Seminggu lagi, gumam Jay. Bisa jadi lebih karena biasanya Wibi suka mengulur jadwal kunjungannya. Setidaknya begitulah yang pernah terjadi selama ini.
Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
Satu minggu atau satu bulan hanyalah perbedaan waktu. Tidak perlu dipikirkan benar. Semua itu hanya sebentar bagi mereka yang sedang kasmaran.


Kumpulan Cerpen Ceria, sekitar tahun 1996
nomor dan tanggal lupa dicatat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar