Aku beranjak ke ruang depan.
Dan tidak bisa menyembunyikan keherananku melihat tas itu masih ada. Masih di tempatnya. Tergeletak begitu saja di atas meja.
Tas yang sudah lusuh.
Sudah kumuh.
Dan mustinya sudah diganti dengan yang baru, tapi masih juga dipakai pemiliknya. Padahal warna hijau abrinya sudah memucat. Rumbai-rumbai benangnya bermunculan di sana-sini. Modelnya juga sudah ketinggalan jaman. Kesannya jadi aneh.
Tetapi bagi Bondan tampaknya tidak ada yang aneh.
Ia tetap memakainya. Tetap mengepitnya di bawah ketiak. Baik itu ke sekolah, ke kantor pos, ke pasar, ke kantin, atau ke tempat-tempat lain yang kadang tidak ada hubungannya.
“Aku cinta tas ini,” katanya selalu.
“Sudah terlalu tua, Dan.”
“Biar saja.”
“Beli lagi kan tidak ada salahnya.”
“Banyak salahnya.”
“Atau dicuci biar….”
“Tidak. Nanti luntur keasliannya.”
“Alasanmu sama sekali tidak lucu.”
“Aku memang tidak ingin melucu.”
Lalu secara demonstratif Bondan mengambil tas kesayangannya. Mengepitnya di bawah ketiak. Kemudian pergi. Entah kemana. Entah dengan siapa. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Karena begitulah kebiasaannya selama ini.
Selama ini?
Ya. Selama ini. Tepatnya sejak kami mendiami kamar kontrakan yang sama. Sejak itulah aku sering melihat perangai anehnya. Melihat kecintaannya pada tas itu. Sehingga seringkali timbul pertanyaan dalam batinku, siapa sebetulnya di antara kami yang sebetulnya gila?
Dari ruang dalam kudengar Bondan menguap.
Sebentar kemudian ia sudah muncul di sampingku. Matanya tampak merah. Rambutnya tidak segera dirapikan. Malah menghampiri jendela, menguakkannya lebar-lebar.
“Kamu memperhatikan tasku?”
Aku tidak menjawab.
Angin dingin menerobos masuk.
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah duabelas,” jawabku sambil menatap kegelapan di luar jendela.
Bondan mengganti bajunya dengan kaos. Mengambil jaket.
Mengapit tas kesayangannya.
“Aku pergi dulu.”
Lalu keluar lewat jendela.
Aku tak pernah bertanya kemana Bondan pergi. Mungkin ke terminal. Menghabiskan waktu dengan duduk lama di kios tukang bubur, atau mencari roti bakar, atau mie goreng, atau sekedar memuaskan diri menonton bis-bis malam yang keluar masuk terminal.
Atau cuma berdiri di ujung gang?
Aku juga tidak mengunci jendela. Cuma merapatkan saja. Karena Bondan pasti kembali. Pasti pulang sebelum subuh. Aku sendiri tertidur di meja. Tanpa sengaja terbangun ketika gerobak sayur yang pertama lewat seusai beduk subuh. Dekat kepalaku ada dua salak setengah terkupas. Aku mengambil satu, memakan, lalu menyingkirkan kulitnya begitu saja.
Terdengar lenguhan kecil.
Di bawah dekat kaki meja kulihat Bondan tidur beralaskan tikar. Tanpa bantal. Tanpa baju. Tanpa selimut. Tapi masih mengenakan sepatu.
Aku memandang iba.
Rasanya aku mulai terbiasa dengan keanehan Bondan.
Mulai bisa memahami.
Terlebih setelah aku tahu bahwa ternyata hanya aku yang merisaukannya. Anak-anak yang lain sama sekali tidak peduli. Menurut mereka itu wajar-wajar saja. Bahkan menerima slogan Di mana ada Bondan, di situ tas hijaunya tersangkut yang beredar diam-diam.
Cuma aku yang ribut.
Barangkali karena aku satu-satunya yang tiap hari ketemu Bondan, tiap hari melihat keganjilan demi keganjilan. Melihat Bondan yang memeluk tasnya sewaktu tidur. Melihat Bondan datang dan pergi dengan tas kesayangannya di bawah ketiak. Waktu pergi kadang tidak diisi apa-apa. Kalaupun ada paling hanya sebuah buku tipis. Tapi pulangnya bisa berisi selebaran, brosur mebel, kertas tisu, beberapa biji kuaci, plastik bungkus, majalah bekas….
Aku tidak pernah menanyakan darimana ia mendapat tetek bengek semacam itu. Kupikir tidak ada gunanya. Malah akan membuatku semakin heran dan tidak mengerti.
Tidak mengerti sama sekali.
Juga ketika pada suatu hari Bondan pulang dengan sebuah bungkusan di tangannya. Bungkusan kertas koran yang agaknya dipersiapkan tergesa. Bondan meletakkannya di atas meja. Melihat kepadaku.
“Apa itu, Dan?”
“Lihat saja sendiri.”
Aku membuka bungkusan. Dan terkejut.
Karena isinya adalah sebuah tas. Dengan model dan warna yang tidak berbeda dengan tas kesayangan Bondan. Hanya yang ini – tentu saja – masih baru. Warnanya masih terang. Masih bagus. Masih bau toko.
“Bukan main! Bagus sekali,” kataku.
Bondan tidak bereaksi.
“Hebat. Di mana kamu mendapatkan tas yang mirip dengan tas kesayanganmu itu, Dan?”
“Bukan aku yang membeli.”
“Jadi….”
“Ada seseorang yang membelikannya untukku. Untuk mengganti tas yang katanya sudah lusuh dan tidak layak dipakai lagi ini,” Bondan menunjuk tas kesayangannya.
“Dari siapa, Dan?”
“Kamu tidak perlu tahu. Dia temanku yang paling setia. Yang selama ini mau mengerti jiwa dan perasaanku. Yang tiap hari kutemui, yang memberi semangat, dan mengatakan bahwa aku tidak aneh.”
“Dia… pacarmu?”
“Kalaupun dia pacarku, aku tidak akan menganggapnya lagi.”
Aku menatap heran.
“Dia sudah mempermainkan aku. Dulu dia bilang bahwa kecintaanku pada tas ini adalah sesuatu yang wajar. Sekarang dia membelikan tas baru. Dan menyuruhku membuang tas yang lama.”
“Kupikir dia benar, Dan.”
“Ternyata kamu sama saja gilanya.”
Lalu Bondan membungkus kembali. Menyimpannya dalam lemari.
“Aku akan tetap memakai yang ini,” katanya sambil memeluk tas kesayangannya erat-erat. “Kamu tahu apa sebabnya aku menyukai tas ini? Tidak? Karena inilah hartaku satu-satunya. Betul-betul milikku. Cuma ini barang yang kubeli dengan hasil keringatku sendiri. Kamu tahu kapan? Empat tahun yang lalu, ketika aku masih SMP. Ketika aku begitu mendambakannya. Dan aku memerlukan waktu setahun lebih untuk berhasil memilikinya. Dengan menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajanku. Dengan tekadku untuk tidak meminta bantuan dari orang lain.
Tidak juga dari orang tuaku.
Hanya ini milikku satu-satunya. Yang lainnya hanyalah titipan dari orangtuaku.”
Aku menghela napas.
Dan tiba-tiba saja merasa terharu.
“Aku cinta tas ini.”
Lalu Bondan pergi.
Tengah malam ia kembali dengan wajah memelas. Tas kesayangannya itu menjadi lebih kusuh dari biasanya. Bahkan ada bekas lumpur kering di salah satu sudutnya.
“Darimana lagi, Dan?”
Bondan malah menunjukkan betisnya yang terluka. Ada sobekan panjang sepuluh senti. Darah menggenangi celana.
“Hei, kenapa ini?”
Bondan malah menyodorkan obat merah.
“Perih….”
Bondan meringis waktu lukanya kuobati.
Aku menjadi semakin terbiasa.
Dan semakin tidak peduli. Terlebih setelah aku sendiri tenggelam dalam kesibukan sekolah. Ada ide untuk menyelenggarakan lomba vokal grup antar SLTA se-Jabotabek. Panitia pun dibentuk, dan aku termasuk salah seorang di antaranya. Sebagai seksi kesekretariatan.
Sejak itu waktuku habis di sekolah.
Setiap hari mengurusi surat-surat, mengetik rencana dan perincian acara, menghubungi sekian banyak pihak, serta membongkar tumpukan arsip yang semrawut sejak kepengurusan tiga generasi sebelumnya.
Sejak itu pula aku jarang pulang.
Lebih sering menginap di sekretariat. Bangun pagi-pagi sekali dan segera mencari rumah teman terdekat untuk menumpang mandi. Kemudian mengikuti pelajaran dengan baju kusut dan mata setengah mengantuk.
Tidak sempat ketemu Bondan.
Tidak sekalipun mendengar kabarnya.
Dan ternyata aku merasakan semacam kerinduan, semacam rasa kangen. Bukan hanya kepada Bondan, tapi juga kepada tas kesayangannya. Kepada caranya mengepit. Kepada kemesraannya ketika memeluk tas itu sebagai teman tidur.
Aneh. Tapi itulah yang terjadi.
Baru pada minggu kedua aku bisa menarik napas lega.
Lomba berjalan sempurna. Lancar. Hampir tidak ada halangan sama sekali. Tidak ada keributan antar peserta. Tidak ada kericuhan di antara sesama panitia. Itu sudah membahagiakan. Dan dengan kebahagiaan itulah aku melangkah pulang. Berjalan bersama angin malam yang terasa dingin dan menggigilkan.
Kamar itu tampak sepi.
Daun pintunya sedikit terbuka. Berarti ada orang di dalam. Dan pasti Bondan. Tidak mungkin orang lain karena kami masing-masing menyimpan kunci kamar.
“Dan?”
“Hmmm.”
Ow, betapa aku kangen dengan suaranya!
“Sukses acaranya?”
Aku mengangguk. Melempar ransel ke atas ranjang. Melepas sepatu, dan segera menyadari betapa tak enak baunya.
Pada saat bersamaan justru Bondan berdiri.
“Mau ke mana lagi, Dan?”
“Pergi,” sahutnya datar. Lalu mengambil jaket, mencari-cari sepatu. “Selama ini kamu jarang di rumah. Sibuk terus. Sekarang gantian aku yang pergi. Kamu yang di rumah.”
Lalu mengepit tas.
Tas!
Astaga! Aku hampir tidak percaya. Lihat, Bondan memakai tas yang baru!
“Hei, akhirnya kamu mau juga memakai tas itu.”
Bondan tidak menanggapi. Malah memakai sepatu.
“Dan, sejak kapan kamu memakainya?”
“Seminggu yang lalu.”
Aku mengeluh.
Menyalahkan diri sendiri karena terlalu sibuk sehingga tidak melihat perubahan besar yang terjadi. Bondan mau menggunakan tas yang baru. Mau menyimpan tas kesayangannya. Mau menerima kenyataan bahwa tas kesayangannya memang sudah saatnya diganti. Dan aku tidak tahu. Padahal aku teman terdekatnya!
“Tas yang lama kemana?”
Bondan tidak menjawab.
Dan tidak pernah mau menjawab.
Juga sampai beberapa lama kemudian. Setiap kali aku menanyakan tas kesayangannya, reaksi Bondan tampak aneh. Tidak mau menjawab apa-apa. Lalu melamun berlarut-larut. Atau pergi begitu saja. Tidak memberi tahu kemana. Tidak segera pulang.
Sampai sekarang aku tidak pernah tahu.
Tak pernah.
Hai no.42/XII tanggal 18 – 24 Oktober 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar