Kamis, 15 April 2010

Satpam


Setiap kali menemani Winar ke Duta Graha, Bondan selalu menyiapkan dua hal. Pertama, menyiapkan waktu ekstra karena urusannya tidak pernah selesai di bawah setengah jam. Kedua, menyiapkan telinganya untuk mendengar pujian.
Bukan.
Bukan pujian untuk dirinya. Juga bukan untuk Duta Graha yang memiliki delapan lantai dengan sekian puluh ruangan. Melainkan pujian untuk seorang satpam yang berdiri di lantai dasar.
“Cakep ya, Dan?”
Ketika mendengar pertama kalinya, Bondan tdak bisa segera memastikan apakah yang dimaksud cakep adalah interior ruangan atau lukisan di dinding atau deretan piala di balik kaca. Ia malah bergurau dengan menunjuk dadanya sendiri.
“Aku?”
“Bukan. Satpam itu.”
Bondan menoleh. Memperhatikan satpam yang memang tampak gagah dalam seragam tugasnya. Rasanya Bondan seperti sering melihat, berpapasan, atau bahkan berhubungan dengan satpam untuk keperluan-keperluan tertentu. Dan menurut pendapatnya semua satpam itu sama. Kekar, gagah, biasanya hitam, kadang berkumis, kadang masih muda, dan sikap berdirinya seolah tak terpengaruh oleh guncangan gempa.
“Kayaknya baru lihat sekarang.”
Bondan mengangguk. Mengajak menghampiri meja resepsionis yang selalu saja mendahului bertanya mau ketemu siapa. Menukar tanda pengenal dengan nomor tamu, kemudian menunggu lift yang biasanya – selalu, dan ini sering membuat Bondan bertanya-tanya – masih berada di lantai atas.
Tanda turun lift menyala merah.
“Satpam baru barangkali ya, Dan?”
Bondan mengangguk lagi. Mengajak masuk lift. Ia tahu Winar melirik satpam itu. Dan satpam itu mungkin juga diam-diam memperhatikan mereka. Bondan membiarkan saja.
“Orang Jawa.”
“Kok tahu?”
“Naluri saja.”
“Memang tampang Jawa dimana-mana sama ya?”
“Kurang lebih begitu.”
Bondan bisa menjelaskan bahwa ia bisa mengenali orang Ambon yang biasanya keriting. Bahwa nama betawi asli tidak akan jauh dari Anen, Bokir, atau Nasir. Bahwa kulit orang Menado umumnya lebih putih dibanding kulit orang Padang. Yang paling susah kalau orang Batak duduk berdampingan dengan orang Jawa. Sama hitamnya. Garis wajah juga sama kerasnya. Kecuali jika salah satu berbicara, baru ketahuan mana yang Jawa.
Bondan bisa menceritakan, tapi ia diam saja.
Karena Winar sendiri tidak menanyakan. Karena Bondan sendiri sadar – seratus persen sadar – ia diajak bukan untuk ditanya. Melainkan untuk menunggu sampai urusannya selesai. Sampai Winar keluar dari ruangan, menarik tangannya, mengajak turun.
Kadang senyum tergambar di wajahnya.
Kadang menggerutu.
(Bondan tidak pernah menanyakan kenapa Winar tersenyum atau kenapa cemberut. Itu bukan urusannya. Biasanya tanpa diminta Winar akan mengatakan apakah urusannya sudah selesai atau harus kembali lagi besok atau cukup menelpon saja – meski sambil tergesa masuk lift. Dari situ Bondan tahu bahwa yang ditemui Winar adalah redaksi sebuah majalah remaja. Dan Winar selalu menemui untuk mencari informasi terbaru untuk majalah sekolah yang dipimpinnya.)
Biasanya mereka langsung turun. Menukarkan nomor tamu, membaca koran yang disediakan banyak di ruang tunggu, lalu pulang. Kecuali jika di luar hujan deras sekali – atau panas terik sekali. Lebih aman dan lebih nyaman bertahan dalam ruangan full AC.
Tapi siang itu sehabis membaca koran, Winar tidak segera beranjak pulang. Padahal di luar tidak hujan deras dan tidak panas sekali.
“Cakep ya, Dan?”
Itu lagi yang diucapkan.
Bondan risih. Meskipun mengakui bahwa satpam itu memang cakep, dalam arti tidak garang seperti satpam-satpam kebanyakan.
“Kamu lihat matanya? Ramah sekali kan? Dia lebih cocok jadi humas daripada satpam.”
Bondan mengamati resepsionis yang sibuk merapikan pemerah bibirnya. Mungkin betul kata Winar. Satpam itu lebih cocok jadi humas – jadi resepsionis. Tapi apakah resepsionis cakep itu mau disuruh jadi satpam?
“Jarang lho ada satpam kayak dia.”
Bondan pura-pura tidak mendengar. Namun tak urung matanya melirik, dan betul-betul tidak menemukan kesan angker seorang petugas keamanan. Ia pasti tetap waspada. Tapi caranya mengangguk, membukakan pintu, menunjukkan letak kamar kecil, memberi tahu letak ruangan pada seseoranhg dilakukan sewajarnya. Tidak dibuat-buat. Tidak over acting – pun seandainya yang dihadapi adalah pimpinan kantornya sendiri.
Sekarang satpam itu membantu seorang karyawan yang munciul dengan setumpuk kertas di kedua belah tangannya. Membantunya menurunkan, memasukkan ke dalam lift, memencet nomor lantai yang dituju, dan cuma tersenyum tipis sewaktu yang dibantu mengucapkan terima kasih.
Berdiri lagi dekat pintu.
Seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Seolah yang dikerjakan sejak tadi hanya berdiri terus.
Kalau saja saat itu ada tamu yang kesulitan membuka pintu – karena tidak tahu apakah harus didorong atau ditarik – ia akan spontan menolong. Satpam itu tidak peduli – dan tidak mungkin menanyakan – apakah yang ditolongnya direktur perusahaan besar atau direkturnya sendiri, atau pengantar barang, atau tukang pel dengan ujung sepatu basah, atau justru pengangguran yang mau melamar pekerjaan – yang secara status berada di bawahnya.
Bagi satpam itu semua yang datang adalah tamu. Tidak jadi masalah apakah datang sekedar untuk pinjam telepon atau membawa berita penting. Ia akan melayani sama hormatnya. Ia akan melakukan yang terbaik bagi tamunya. Sama seperti peremnpuan manis yang duduk di meja bertuliskan resepsionis. Yang menanyakan keperluan setiap tamu. Yang senyumnya tak pernah lepas. Yang telepon di sampingnya berdering setiap sekian menit sekali.
Kalau dipikir-pikir apa sih bedanya satpam itu dengan resepsionis?
Tugasnya sama. Hanya jabatan dan seragam yang membedakan.
Mungkin juga gajinya.
Satpam itu mungkin tahu nama lengkap resepsionis. Tahu karena tiap hari ketemu. Tahu dan kenal, meski tidak pernah digunakan untuk memanggil. Tahu dan kenal, tapi tidak berarti satpam itu bisa seenaknya mengajak ngobrol, menggoda, atau iseng menawari pulang bersama – atau bisa kerja di situ karena punya koneksi atau karena sebab lain.
Resepsionis itu pasti juga kenal nama satpamnya. Bahkan juga biodata lengkapnya. Tapi ia jarang memanggil langsung. Kalau perlu cukup dengan isyarat jari. Dengan isyarat itu ia bisa minta tolong mengantarkan seorang tamu ke ruang sekian. Bisa menyuruh menunggui meja resepsionis sementara ia sendiri pergi ke kamar kecil. Bisa mendadak menyuruh ke toko fotokopi di seberang gedung. Bisa iseng menanyakan apakah seragam yang dipakainya hari itu adalah juga seragam yang dipakainya minggu lalu, atau ia memang mempunyai sekian pasang yang sama persis warna dan baunya.
Semua perintah, pertanyaan, dan pelayanan dikerjakan dengan kesadaran penuh seorang petugas. Agaknya ia sadar – seratus persen sadar – berada di situ untuk disuruh. Untuk dimintai tolong dan diperintah. Dan ia akan mengerjakan tanpa berkomentar. Tanpa perlu membandingkan dirinya dengan satpam-satpam lain yang bertugas di bagian lain.
“Dan….”
“Ya?”
“Kamu pernah melihat satpam itu sebelum ini?”
“Belum.”
“Berarti satpam baru. Kutebak belum ada sebulan dia bertugas di sini. Soalnya bulan lalu kita ke sini, dan satpam itu belum ada. Tapi siapa tahu….”
“Mungkin sudah ada,” Bondan menyela. “Tapi sebelumnya ditempatkan di bagian lain. Duta Graha bukan cuma ini.”
“Cakep ya, Dan?”
Bondan melihat ke arah lain.
Seperti berusaha membuang cemburu yang mendadak hinggap. Tidak masuk akal – tak masuk dalam pikiran Bondan – Winar semudah itu memuji orang lain. Biasanya malah mengkritik.
Dulu pernah mengkritik penampilan satpam-satpam di beberapa gedung karena penampilannya yang angker, matanya menyelidik, dan susunan katanya seperti sudah diprogram. Pernah juga mengkritik satpam di beberapa departeman yang matanya nakal, sok dibutuhkan, usil terhadap tamu wanita – terutama yang datang untuk melamar kerja, dan tidak sembunyi-sembunyi meminta uang rokok.
Sekarang kenapa malah memuji?
“Tapi satpam yang ini lain. Matanya tidak nakal. Sikapnya tidak kaku. Senyumnya bukan basa-basi. Caranya melayani tamu tidak menjadikan tamunya merasa berhadapan dengan seorang petugas.”
“Lalu?”
“Jam berapa istirahat kantor?”
“Jam duabelas. Kenapa?”
Tidak ada jawaban.
Tapi juga tidak ada ajakan pulang. Bondan menunggu. Sampai satu jam kemudian tidak ada tanda apa-apa. Dan Bondan hampir-hampir tidak percaya ketika Winar beranjak mendekati satpam itu.
Pas pukul dua belas!
Bondan terpaku di ruang tunggu. Duduk meluruskan kaki sementara puluhan kaki lainnya bergegas meninggalkan ruangan. Jam istirahat adalah saat-saat santai yang agaknya dipergunakan semaksimal mungkin oleh para pekerja di manapun mereka berada. Inilah saat-saat untuk mengusir kepenatan kerja. Saat-saat untuk makan siang, untuk menemui rekan-rekan di bagian lain – meneruskan obrolan yang sempat terputus pagi tadi.
Berbahagialah mereka, gumam Bondan pada diri sendiri.
Ia cuma bisa duduk menunggu. Mengamati Winar yang berbincang-bincang dengan satpam cakep itu. Sambil terus bertanya-tanya dalam hati, kekuatan apa yang menggerakkan keanehan itu? Pengaruh apa yang merubah Winar begitu memperhatikan satpam cakep itu? Apakah saudaranya ada yang menjadi satpam tapi tidak cakep?
Berbahagialah satpam cakep itu, gumam Bondan lagi.
Tidak sampai seperempat jam Winar sudah menghampiri Bondan. Menarik tangan Bondan mengajak pulang.
“Kamu benar, Dan?”
“Bagaimana?”
“Kamu benar,” Winar mengulangi. “Dia betul orang Jawa.”
“Di mana Jawanya?”
“Purwokerto. Sudah empat bulan jadi satpam di sini tapi sebelumnya bertugas di pos parkir. Tidak pernah kita lihat sebelumnya karena kita tidak pernah bawa mobil. Selalu naik bis kota.”
“Cuma itu yang kamu tanyakan?”
“Tentu saja tidak. Namanya Mugiono. Lulusan SMA tahun delapan enam. Setelah lulus langsung ke Jakarta ikut test jadi taruna ABRI. Tiga kali ikut test, tiga kali gagal. Mau kembali ke kampungnya malu karena di sana sudah dilepas resmi oleh seluruh kerabatnya. Pernah jadi buruh waktu pembangunan jalan bebas hambatan Jakarta-Cikampek. Pernah jualan sepatu di kaki lima Tanah Abang. Pernah jualan teh botol di Stadion senayan.
Hebat ya, Dan?”
“Karena dia jadi satpam?”
“Karena Mugiono tidak putus asa. Mau bekerja keras untuk tetap hidup di Jakarta. Dan tidak menyesal meskipun sekarang cuma jadi satpam. Itupun tanpa sengaja. Diajak salah seorang temannya yang sudah lebih dulu bekerja di sini.
Padahal, kamu tahu, cita-citanya dulu jadi pilot pesawat tempur.”
“Astaga....”
“Pilot pesawat tempur,” Winar mengulangi. “Bukan astaga....”
“Aku tahu. Tapi alangkah jauhnya hubungan antara pilot pesawat tempur dengan satpam.”
“Itulah.
Tapi Mugiono tidak malu. Tidak merasa minder. Ia mau menerima kenyataan yang ada. Meskipun ia mengakui sendiri, mendapatkan kesulitan untuk menjelaskan kepada keluarganya.”
“Maksudmu?”
“Keluarganya di kampung tidak percaya Mugiono cuma jadi satpam di Jakarta. Padahal ia sudah sering menjelaskan, tapi keluarganya tetap beranggapan Mugiono jadi pilot pesawat tempur.
Waktu Mugiono mengirimkan fotonya dalam seragam satpam, keluarganya semakin percaya bahwa ia memang pilot pesawat tempur. Adik-adiknya bahkan berpesan, kalau dia terbang di atas Purwokerto supaya melemparkan uang receh yang banyaaaaak sekali....”
Bondan tersenyum.
Kekuatirannya hilang seketika. Ia tahu Winarnya memang bercita-cita jadi wartawan. Sekarang pun sudah jadi wartawan meskipun cuma wartawan sekolah – merangkap redaksi pelaksana.
“Itu yang akan kamu tulis dalam majalah sekolah edisi minggu ini?”
“Tentu saja.”
“Kamu memang berbakat, Win.”
“Sejak dulu komentarmu selalu begitu.”
“Ya, karena aku tidak menemukan komentar lain. Kamu bercita-cita menjadi wartawan dan kamu sudah merintisnya dari sekarang. Aku percaya – seratus persen percaya – dengan bekal pengalaman yang kamu miliki sekarang, jalan menuju cita-cita itu akan semakin mudah. Pasti tercapai tanpa banyak rintangan. Tanpa harus menjadi satpam dulu seperti Mugiono.”
Winar tertawa.
Di luar, udara terasa lebih gerah dibanding biasanya. Winar mempererat cekalan pada lengan Bondan saat menyeberangi jalan.
“Dan….”
“Ya?”
“Cita-cita kamu jadi apa sih?”
“Dulu ingin jadi dokter spesialis.”
“Sekarang?”
“Jadi satpam juga boleh.”

Pemenang III Sayembara Mengarang Cerpen GADIS 1989 –
pemenang pertama dan kedua tidak ada,
dimuat pada Majalah Gadis no.23 – September 1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar