Setidak-tidaknya aku masih ingat betul.
Ingat waktu untuk pertama kalinya Bondan memperkenalkan diri. Selalu teringat karena caranya yang tidak berubah dari hari pertama ke hari berikutnya.
Berdiri di ujung lorong, memasukkan dua tangan dalam saku celana, dan tersenyum.
“Halo, namaku Bondan….”
Aku menatap heran saat tangan kanannya terulur. Kuperhatikan wajah lelaki yang berdiri di hadapanku. Wajah yang sama sekali tidak simpatik sebetulnya. Malahan lebih menjurus ke wajah kekanak-kanakan. Wajah bayi.
Dengan gerakan kasar uluran tangan itu kutepiskan.
Kalau saja waktu itu Bondan menunjukkan raut kecewa, mungkin persoalannya bisa selesai. Tak sulit bagiku untuk minta maaf, mengatakan bahwa itu tadi hanya main-main, anggap saja sambutan pertama, balas mengulurkan tangan, menyambut perkenalan Bondan dengan menjabatnya erat-erat.
Tapi Bondan tidak kecewa. Tidak juga tersinggung. Bahkan kini ikut menjajari langkahku.
“Aku murid baru. Namaku Bondan….”
“Tidak tanya.”
“Aku hanya memberi tahu. Namaku Bondan.”
“Sudah tahu.”
“Aku ingin berkenalan.”
“Sama yang lainnya saja dulu.”
“Sudah. Penjaga lonceng juga sudah. Tinggal kamu yang belum. Namamu kan Hastuti ya?”
Aku menghentikan langkah. “Bapakmu yang kasih nama?”
“Bapakku sudah mati. Tapi kemarin kamu tidak masuk. Dan aku menanyakan ke guru piket. Ada tiga nama di situ. Kupikir nama Hastuti lebih cocok. Dua nama lainnya amat meragukan. Kamu kan nggak mungkin bernama Burhan. Atau Paijo….”
Aku tertawa. Keras sekali.
“Kesalahanmu total. Namaku memang Paijo.”
“O. Menyeramkan sekali,” suara Bondan sama sekali tidak bernada mengejek. “Kemarin kulihat namamu di loket keuangan. Belum bayar SPP bulan ini ya?”
Aku mulai merasa jengkel.
“Kalau ya kamu mau apa?”
“Aku mau kenalan. Namaku….”
“Kamu orang gila ya?”
“Aku orang Bali. Namaku Bondan.”
Gombal betul. Aku mendengus keras. Apa yang kemudian dikatakan Bondan tidak kugubris. Buru-buru mempercepat langkah. Masuk ruang kelas dan duduk membanting kesal pada bangku.
Aku memicingkan mata. Memandang setengah marah pada Bondan yang ikut memasuki ruang kelas. Bondan mendekat. Semburan dari mulutku terasa amat galak.
“Mau apa ikut-ikutan ke sini!”
Bondan menahan langkah. Diam di tempatnya berdiri sampai aku memalingkan wajah ke luar jendela.
Ternyata Bondan sekelas denganku.
Winar yang memberi tahu. Winar pula yang menertawakan ketakutanku.
“Bondan baru masuk kemarin,” jelas Winar. “Kamu sih pake bolos.”
“Aku mens.”
“Iya deh iya. Tapi anak baru itu kocak lho.”
“Matanya sadis.”
“Semua anak dia salami. Kalimat perkenalannya khas. Halo, namaku Bondan, begitu. Antik ya?”
“Kepalamu itu yang antik.”
“Katanya cuma kamu yang belum disalami.”
“Pantesan dari tadi mengekor terus.”
“Senang sama kamu, barangkali.”
“Amit-amit!”
“Jangan sembarangan. Nanti kualat lho.”
Aku tertawa mendengar kualatnya si Winar. Meskipun aku sendiri tidak bisa memungkiri rasa diteror yang mendadak menyergap pikiranku. Dudukku jadi tidak betah. Jarak tempatku duduk dengan Bondan hanya selisih satu meja. Kalau saja jaraknya di bawah satu meter, mungkin aku memilih pindah ke kelas sebelah.
Aku merasa berada dalam penjara.
Kenyataannya Winar memang benar. Siang harinya, kembali aku tercekat di ujung lorong.
“Halo,” tangan Bondan terulur. “Namaku Bondan….”
“Maaf, aku sedang buru-buru.”
“Bisa kuantar?”
“Terima kasih. Lain kali saja.”
“Nanti sore bagaimana?”
“Sori, aku latihan atletik.”
“Namaku Bondan.”
Aku tidak mempedulikan lagi. Kakiku mengayun cepat. Tangga depan kutiti dengan gerakan terlatih. Kubiarkan Bondan terpaku melihat kepergianku.
Tadinya, dengan alasan itu aku berharap dapat lepas dari bayangan Bondan. (Ah, bagiku Bondan tidak berbeda dengan bayangan. Bisa muncul dan hilang tanpa diketahui.) Paling tidak bisa segera pergi dan menghindari gaya bicaranya yang kacau itu.
Dugaanku meleset. Harapanku hancur sama sekali.
Sore, di tengah lapangan, pelatih meniup peluitnya. Aku berlari kecil menggabungkan diri. Berolahraga ringan di tempat. Akhirnya disuruh mengelilingi lapangan empat kali. Sebagaimana layaknya seorang atlit, tidak ada yang membantah.
Aku mengambil ancang-ancang. Badan setengah membungkuk, dan pandangan mata lurus ke depan. Pas itulah aku menyadari kehadiran Bondan. Anak itu enak saja duduk menekur di pinggir lapangan.
Aku membuang pikiran jauh-jauh. Ujung kaki sudah menjejak kuat. Satu tiupan peluit, dan tubuhku melambung maju. Aku merasa lariku stabil. Meluncur menapaki jalur merah tanpa melenceng.
Aku berlari sendirian. Empat lawanku waktu sama-sama start tadi berada dalam selisih jarak tujuh meter, di depanku.
Aku menambah kecepatan. Semakin cepat. Sama cepat dengan kemunculan Bondan di putaran kedua. Mulailah terasa ada yang salah. Tali sepatu sepertinya mengendor. Dan ketiakku lebih berkeringat daripada biasanya.
Kucoba menenangkan diri. Di samping bayanganku, bayangan Bondan ternyata sanggup mengimbangi kecepatan.
“Selamat sore,” kudengar suara Bondan. “Terbiasa bicara sambil lari?”
Aku tetap memacu kaki.
“Aku juga suka lari. Dulu, kalau ketinggalan bis. Oya, namaku….”
Suara Bondan terputus oleh peluit panjang. Di tengah lapangan, pelatih berdiri garang. Satu tangan di pinggang, satu lainnya menunjuk pada Bondan. Seolah mengisyaratkan agar pelari tak terdaftar itu meninggalkan lapangan.
Aku mendengar gumam tak jelas. Betul-betul tidak jelas karena telingaku tetap berlari. Juga tidak bisa dibedakan apakah Bondan menggumam atau mengumpat.
Yang jelas, memasuki putaran ketiga aku berlari sendirian lagi.
Seharusnya aku bersyukur. Tapi ini malah merasa kehilangan. Tak ada Bondan yang menemani. Tidak ada Bondan yang menjajari langkahku. Ayunan kaki mendadak jadi kacau.
Sampai latihan selesai, sampai gelap mulai turun, bayangan Bondan tidak kelihatan lagi. Aku mencari-cari. Menyapu seluruh sudut lapangan lewat tatapan nyalang. Menunggu lebih dari sepuluh menit di pintu masuk.
Sia-sia.
Aku melangkah pergi. Meninggalkan lapangan yang tak jelas lagi patok-patoknya. Kepalaku masih celingukan. Berharap menemukan sosok Bondan di ujung jalan. Sosok yang tersenyum, mengulurkan tangan, dan terdengar: Halo, namaku Bondan….
Tapi sampai aku meloncat ke bis pertama yang lewat, harapan itu mengambang jauh. Bis terguncang di tikungan. Dan hatiku ikut terguncang.
Hari-hari berikutnya aktifitas rutin berjalan tanpa perubahan yang berarti. Aku masih datang ke sekolah paling awal, dan selalu pulang paling akhir. Begitu juga Bondan, masih setia menungguku di ujung lorong. Masih tersenyum dan mengulurkan tangan. Suaranya pun belum berubah. Dan aku tetap saja merasa gengsi untuk menerima ajakan baik Bondan.
Hebatnya, Bondan tidak juga kapok. Tidak juga mau mundur melihat sifat keras kepalaku. Aku menerima ketololan itu sebagai sesuatu yang lucu.
Ini sudah hari yang ke sebelas. Lorong kelas yang sepi itu kutelusuri lambat-lambat. Mendekati akhir perjalanan aku sudah bersiap-siap. Siap menghadapi Bondan yang pasti sudah berdiri di ujung sana. Ujung jempol dalam sepatu sudah bergerak-gerak.
“Selamat siang, namaku….”
Aku spontan tertawa. Keras. Keras sekali.
“Ibuku juga suka tertawa seperti itu.”
Cepat aku mengatupkan bibir. Memandang benci pada Bondan yang kini ganti tertawa. Lebih keras dari tawaku tadi. Setan banget. Aku benci dipecundangi anak tolol itu.
Dengan mencibir sengit kupercepat langkahku menuruni tangga. Kulirik Bondan membuntuti di belakang. Itu menyebabkan leherku berkeringat. Ada dorongan aneh yang mengetuk-ngetuk dadaku. Dorongan untuk lari saja daripada dijajari Bondan.
Di halte bis aku berdiri dengan sikap angkuh. Bondan yang menyandar di dekat situ sama sekali tidak kuacuhkan. Mataku terus saja melihat ke utara. Menanti datangnya PPD jurusan Gambir.
Yang ditunggu tidak kunjung tampak. Yang nongol justru bis-bis jurusan lain. Yang menawari tempat duduk malah mikrolet-mikrolet tujuan Kampung Melayu. Aku mulai cemas. Seputar leherku tampak basah. Apalagi Bondan tidak juga beranjak dari situ. Masih menyilangkan kedua tangan di dada sambil menyaksikan kegelisahanku. Kelihatannya anak itu menikmati semuanya.
Aku dituntut untuk cepat mengambil inisiatif. Segera menyeberangi jalan dan langsung meloncat ke metromini yang kebetulan melintas. Entah nomor berapa. Entah ke jurusan mana. Aku tidak ambil pusing. Pokoknya aku terlepas dari Bondan. Terlepas dari perasaan diteror.
Padahal kalau saja aku tahu, mungkin saat itu juga aku menjerit ngeri. Karena pada saat yang hampir bersamaan Bondan juga menyeberangi jalan. Bahkan ikut meloncat ke metromini yang sama. Tapi di bagian belakang. Sayang ancang-ancangnya kurang pas. Kendaraan keburu melaju kencang. Tubuh Bondan melayang sesaat sebelum akhirnya mendarat di tempat kosong. Terdengar suara brug, begitu. Tubuh Bondan terhuyung-huyung. Sama terhuyungnya dengan hardtop kelabu yang limbung menghindari tabrakan. Suatu usaha pencegahan yang gagal.
Terdengar rem berdecit di tengah hari bolong, bersamaan dengan terbantingnya tubuh Bondan ke sisi tajam trotoar. Masih untung kepalanya hanya membentur bak sampah dari bahan fiberglass.
Kecelakaan itu peristiwa rutin.
Dan orang-orang sudah terlatih meneruskan adegan seperti itu. Dalam waktu singkat saja kerumunan sudah terkumpul. Serangkaian tindakan dikerjakan tanpa perlu seorang komando. Tubuh Bondan diangkat ke tepi jalan. Selalu saja ada yang menjadi pahlawan. Seorang pria setengah tua merelakan bak belakang chevroletnya dilumuri darah segar.
Chevrolet melaju ke rumah sakit. Arus lalu lintas normal kembali. Kerumunan pun bubar.
Seperti prajurit yang bertugas tanpa senjata di pinggang. Seperti petenis yang mendadak lupa membawa raket. Seperti juga pesilat yang kehilangan semua jurus andalannya. Seperti itu juga perasaanku.
Berlangsung dua hari, terasa ada yang janggal. Ada yang aneh. Ada yang kurang. Padahal aku merasa sudah berpakaian lengkap. Hadir utuh sebagai pelajar yang baik. Seragam putih abu-abu, tas Elizabeth di bahu, sepatu warrior, dan lencana merah putih di kerah baju sebelah kiri. Apa lagi?
Sekarang aku baru menyadari ada sesuatu yang hilang. Bondan, ya Bondan! Kemana anak itu! Sudah dua hari ini tidak ada yang menunggu di ujung lorong. Tidak ada yang tersenyum. Pun tidak ada uluran tangan.
Aku merasa hidupku tak lengkap.
Dan siang ini, sampai ruang-ruang kelas tidak menunjukkan kehidupan lagi, aku masih mematung. Menatap nanar ke ujung lorong yang kosong melompong. Aku mulai putus asa. Segera pergi menyeret langkah. Ayunan kakiku terasa tertatih-tatih. Sama tertatihnya dengan langkah Pak Tua yang muncul dari ujung lain. Pak Tua yang jujur, pengabdi sarana pendidikan yang gigih, menceritakan soal kecelakaan di jalan raya tanpa diminta. Lengkap dengan uraian lengkingan rem, sampai darah tercecer, sampai mobil penolong dipacu ke rumah sakit anu, sampai kerumunan bubar meneruskan berita kepada orang-orang di dekatnya.
Aku menelan ludah. Terasa pahit.
Bagaikan anak kucing melihat induknya, aku melesat melintasi halaman sekolah. Terburu-buru. Sangat terburu-buru. Begitu tergesa-gesanya sampai dua kali menyetop kendaraan yang salah. Satu kali turun lagi dari bis rombongan karyawan. Umpatan kondektur kubalas dengan mata melotot galak.
Kupikir aku memang jadi gila. Jadi liar tidak ketulungan. Dua kali ganti bis hanya dilakukan dengan menjejakkan satu kaki di atas aspal terminal. Meloncat dari bis pertama saat memasuki terminal, langsung meloncat lagi ke bis kedua yang saat itu sudah bergerak lambat meninggalkan terminal.
Pintu masuk rumah sakit menyambutku tanpa sapaan. Aku bergegas menyusuri lorong-lorong putih. Ada bau obat di mana-mana. Seperti sengaja ditumpahkan untuk menambah kesan mautnya. Sengatan tidak enak membaur kemana-mana, seperti ikut membuntuti langkahku.
Di pintu bangsal kelas tiga aku tertegun. Ruangan bagi penderita kelas ekonomi paling rendah, tapi justru isinya paling penuh, tak ubahnya seperti tempat pelelangan ikan.
Aku melintas hati-hati. Tidak sulit menemukan ranjang tempat Bondan terbaring lurus. Di ranjang paling pojok, satu-satunya ranjang yang tidak dikunjungi pembezouk.
Aku berdiri memeluk tiang ranjang. Memperhatikan keadaan Bondan penuh rasa iba. Rasa penyesalan bercampur dengan perasaan geli, dan perasaan aneh. Kasihan. Seputar kepala Bondan dilingkari perban tebal. Cairan pekat berwarna kuning itu sudah terbubuhkan bundaran merah darah. Jadi seperti telor mata sapi. Lebih-lebih betisnya. Menebal sebesar bonggol batang pisang. Lututnya, lengannya, begitu pula sebagian pelipisnya, dimerahi oleh obat merah.
Aku menahan napas.
Bondan masih asyik membaca koran mingguan sambil menggoyang-goyangkan ujung jempol. Lirih-lirih aku pun mendengar siulannya.
Aku masih terpaku memeluk tiang ranjang saat Bondan menurunkan korannya. Diperhatikannya aku lewat sorotan nakal. Bondan tersenyum lebar.
“Hallo…” lengan itu terjulur. “Namaku Bondan….”
Hai no.5/IX tanggal 6-12 Februari 1985